Kamis, 26 Juli 2012

Usulan chinook untuk jadi Alutsista TNI

Usulan chinook untuk jadi Alutsista TNI


Helikopter Chinook. (Foto: U.S. Army)

18 Juni 2012, Senayan: Kementerian Pertahanan diharapkan mempertimbangkan bahkan mengkaji pengadaan alat angkut bagi TNI mengingat pesawat yang ada saat ini seperti Hercules sudah tua sehingga perlu peremajaan bahkan bila perlu pembelian baru.

"Komisi I tertarik dan mengusulkan pesawat angkut jenis Chinook," ujar anggota Komisi I _PR Muhammad Najib pada Jurnalparlemen.com di Jakarta, Minggu (17/6).

Menurut dia, helikopter jenis Chinook memiliki sejumlah keunggulan. Di antaranya, punya kapasitas angkut yang besar, baik untuk personil maupun logistik selai

Sukhoi TNI AU Tiba di Darwin

Sukhoi TNI AU Tiba di Darwin

 
Kontingen TNI AU tiba di Darwin. (Foto: RAAF)

26 Juli 2012, Jakarta: Satu flight Sukhoi Su-27/30 terdiri dari empat pesawat tempur dan didukung dua pesawat angkut C-130 Hercules Skuadron Udara 31 Halim Perdanakusuma dan satu C-130 Hercules Skuadron Udara 32 Lanud Abdulrahman Saleh tiba di Darwin.

TNI AU akan mengikuti Latihan Udara Bersama Pitch Black 12 di Darwin, Australia dari 27 Juli hingga 13 Agustus. Pitch Black 12 diikuti United States Marine Corps (USMC), Republic of Singapore Air Force (RSAF), Royal Thai Air Force (RTAF), Royal New Zealand Air Force (RNZAF), Royal Australia Air Force (RAAF) dan TNI AU.

Sukhoi di Pangkalan Udara RAAF di Darwin. (Foto: RAAF)

TNI AU pertama kali mengirimkan jet tempur Sukhoi ke luar negeri dan berlatih dengan angkatan udara negara lain.

Adapun yang bertindak sebagai Komando Latihan (Kolat) Latihan Bersama Pitch Black 12 adalah Paban III/Lat Sopsau Kolonel Pnb Agus Munandar, Komandan Wing 5 Lanud Sultan Hasanuddin Kolonel Pnb Palito Sitorus, Staf Paban III Sopsau Letkol Pnb Azhar.A, Kadisops Lanud Sultan Hasanuddin Letkol Pnb W. Iko Putro.

Kuasai Teknologi Memperkuat Pertahanan Negara



26 Juli 2012, Jakarta:Sebab,penguasaan teknologi menjamin adanya persenjataan yang tangguh. Salah satu aspek penting pengembangan teknologi adalah untuk mendukung kemampuan pertahanan negara.

Dalam sejarah peperangan yang pernah terjadi, kemampuan suatu negara dalam menguasai teknologi sangat berpengaruh pada kemenangan. Sebab, penguasaan teknologi menjamin adanya persenjataan yang tangguh. Di Indonesia, pembangunan industri pertahanan telah dimulai sejak diterbitkannya Keputusan Presiden No 59/1983. Keppres itu membidani lahirnya sejumlah industri pertahanan seperti PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/ PT DI) untuk bidang kedirgantaraan, PT PAL (untuk maritim), PT PINDAD (persenjataan dan amunisi), PT DAHANA (bahan peledak), PT LEN (elektronika dan komunikasi).

Industri-industri itu mulai tenggalam setelah dihantam badai krisis pada 1998. Sekarang, pengembangan kemampuan teknologi dalam mendukung pertahanan kembali digencarkan. Guna mendukung langkah ini, dibentuklah Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang dipimpin Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan beranggotakan sejumlah menteri, termasuk Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta,Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, dan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo.

Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta menyebut, ada tiga klaster dalam produksi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Yakni, yang bersifat untuk meningkatkan produksi, pelayanan,dan perlindungan. “Jadi, kita harus terus mengembangkan iptek untuk mendukung pertahanan,” katanya di kantor Bapeten,belum lama ini. Di antara yang sedang dikembangkan untuk pertahanan adalah pembuatan roket yang dinamai RHAN. Roket ini sudah beberapa kali diujicoba dan berhasil. Namun,daya jangkau masih belum memenuhi ekspektasi. “Kita ingin di atas tiga digit,”ujar Gusti.

Di Indonesia, ada banyak Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) dan Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP), serta badan usaha milik swasta yang aktivitas usahanya berkaitan erat dengan bidang pertahanan. Di deretan pelat merah ada nama-nama seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL Indonesia. Dikalangan swasta ada beberapa industri galangan kapal seperti PT Palindo.

Kemampuan PT DI dalam memproduksi pesawat tidak perlu diragukan lagi. Direktur Teknik dan Pengembangan PT DI Dita Ardoni Safri menyebutkan, beberapa pesawat yang sudah berhasil dibuat adalah CN-235, dan NC-212-200. Untuk pesawat CN-235 sekarang ini di antaranya dipakai oleh TNI Angkatan Udara sebagai pesawat angkut ringan, juga oleh TNI Angkatan Laut. Beberapa negara asing juga tertarik menggunakan pesawat ini,seperti Korea Selatan. Selain pesawat, PT DI juga berhasil membuat roket FFAR (Fin Folding Aerial Rocket) yang dipakai untuk jet tempur TNI. Roket ini sebagian besar komponennya berasal dari dalam negeri. PT DI mampu memproduksi roket ini hingga ribuan unit per tahun. Roket jenis FFAR memiliki tiga tipe berdasarkan diameter serta jarak luncur. Yakni, tipe MK 60 dengan diameter 100 mm, tipe MK4 dan MK40 berdiameter 67 mm.

Roket ini pertama kali diproduksi dengan lisensi produsen roket Force de Zeeburg, Belgia. PT DI juga membuat torpedo berdiameter 122 milimeter yang memiliki jangkauan area hingga 40 km. Di luar teknologi yang sudah dikuasai, PT DI juga terlibat dalam berbagai pembuatan pesawat terbang selaku penyuplai komponen. Diantaranya bekerja sama dengan Airbus Military dan Boeing. Produk-produk Pindad juga sudah menembus pasar ekspor.

Bahkan untuk amunisi,jumlah permintaan melebihi kemampuan produksi. Sehingga manajemen berupaya untuk meningkatkan kapasitas dengan mendatangkan mesin baru. PT Pindad juga berhasil menciptakan kendaraan tempur angkut personel Panser Anoa 6x6. Penciptaan kendaraan ini dimulai ketika operasi militer di Aceh. Kala itu, banyak pasukan yang cedera karena menaiki kendaraan yang tidak memadai untuk operasi. Sehingga, Pindad dipesan untuk membuat kendaraan tempur angkut personel yang lebih aman dan lahirlah Anoa 6x6.

Kendaraan ini juga digunakan prajurit TNI yang bertugas dalam misi perdamaian dunia di bawah kendali PBB. Bahkan, spesisifikasi Anoa 6x6 sudah memenuhi kualifikasi PBB. Beberapa negara asing pun berminat untuk membeli, seperti Malaysia. Saat ini,PT Pindad membuat prototipe kedua kendaraan perintis ( Rantis) 4x4 bekerja sama dengan TNI dan industri lain.PT Pindad sebagai leading sector industri termasuk pelaksana integrator desain,pengerjaan break system, steering system, serta senjata.

Sedangkan penyedia baja oleh PT Krakatau Steel dan penyedia power train, power pack, electrical AC, engine, winch, driver set, dan pengecatan body assembling oleh PT Autocar Industri Komponen. Dalam bidang maritim,Indonesia juga sudah bisa membuat kapal perang oleh PT PAL maupun PT Palindo. Di antara kapal perang yang sudah diproduksi adalah landing platform dock (LPD) yang diproduksi setelah proses alih teknologi dalam pembelian LPD dari Korea Selatan.

Selain itu juga berhasil diproduksi kapal kawal cepat rudal (KCR) berbagai ukuran 40 meter dan 60 meter. “Ada roadmap pembangunan kapal perang. Ada tahapan-tahapannya,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

ASEAN Tidak Berdaya Menghadapi Cina


Harapan Filipina dalam pertemuan ke-45 Menteri Luar Negeri ASEAN, di Phnom Penh, Kamboja, Juli 2012, agar disepakatinya Kode Tata Berperilaku di Laut China, kandas. Kandasnya kesepakatan tersebut diakibatkan di antara anggota ASEAN sendiri, khususnya Kamboja dan Filipina, yang tak menemukan titik temu.

Menteri Luar Negeri Kamboja, Hor Namhong, dalam kesempatan itu menuturkan bahwa pertemuan ini bukan untuk membahas sengketa yang terjadi di Laut China Selatan. Bahkan lebih tegas, Hor mengatakan masalah sengketa di Laut China Selatan tidak perlu dibahas.

Filipina ngotot agar masalah di Laut China Selatan bisa diselesaikan oleh negara ASEAN karena negara itu butuh dukungan. Bila Filipina menghadapi China secara sendiri, secara militer dan hukum internasional, akan kewalahan. Untuk itu Filipina tak lelah-lelahnya membawa masalah ini ke dunia internasional.

Pengklaiman secara sepihak wilayah Laut China Selatan oleh China membuat ketegangan tidak hanya antara China dan Filipina namun juga dengan Vietnam, Brunai, Malaysia, dan Taiwan. Diantara negara itu Filipina dan Vietnam-lah yang paling seru memperebutkan wilayah Laut China Selatan. Negara-negara itu memperebutkan wilayah itu pasti dilandasi alasan bahwa ada sumber minyak yang menggiurkan.

Ketegangan antara Filipina dan Vietnam dengan China sudah pada tingkatan aksi militer. Dalam kondisi yang merasa lemah, membuat Filipina meminta bantuan kepada Amerika Serikat. Undangan Filipina kepada Amerika Serikat untuk masuk dalam konflik militer ini tentu disambut dengan senang hati oleh Amerika Serikat. Undangan Filipina ini dianggap oleh Amerika Serikat sebagai sarana untuk menghantam China sekaligus menacapkan pengaruh Amerika Serikat di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Untuk menghadapi China, Filipina tidak hanya menggandeng Amerika Serikat, namun Filipina juga memaki-maki Kamboja sebagai antek China di Asia Tenggara. Filipina menuduh Kamboja yang menolak disepakatinya Kode Tata Berperilaku di Laut China Selatan karena adanya tekanan China.
Mengapa pertemuan itu gagal membahas masalah di Laut China Selatan meski urusan itu melibatkan banyak negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, Brunai, dan Malaysia? Alasannya adalah. Pertama, ketergantungan negara-negara ASEAN akan bantuan China. Sebagaimana kita ketahui China telah banyak memberi bantuan dan investasinya di negara-negara ASEAN, terutama di Myanmar, Kamboja, dan Indonesia. Bantuan yang diberikan ini tentu menjadi beban bagi banyak negara ASEAN bila hendak menentang China. Misalnya saja, ketika pemerintahan Junta Militer Myanmar diembargo ekonomi oleh PBB dan Uni Eropa, namun nafas ekonomi Myanmar masih menghembus karena adanya bantuan ekonomi dan perdagangan dengan China.

Dukungan kepada Myanmar tidak hanya masalah ekonomi dan perdagangan, namun juga penentangan-penentangan China kepada PBB dan Uni Eropa atas sanksi-sanksi yang hendak ditimpakan kepada Myanmar. Hal yang demikian membuat Myanmar tidak bersuara banyak dalam masalah Laut China Selatan.
Pun demikian dengan Indonesia, kita lihat banyak sekali bantuan ekonomi, pendidikan, teknis infrastruktur, transportasi, perdagangan, dan lain sebagainya yang diberikan China. Bantuan ini membuat kenyang Indonesia, sehingga kalau kenyang otomatis tidak membuat Indonesia kritis kepada China.

Kedua, bila konflik militer terjadi antara ASEAN dan China, pasti ASEAN tidak berdaya menghadapi gempuran militer China. Mengapa demikian? Sebab China tidak dipusingkan dengan masalah alutsista yang dimiliki. Selama ini China mampu memproduksi alutsistanya sendiri dengan canggih, modern, dan tangguh. Sebagai negara besar, penguasaan teknologi China sangat maju, buktinya China sudah mampu mengirim taikonot (astronot) ke luar anagkasa.

Sementara negara-negara ASEAN sendiri saat ini banyak dipusingkan dengan masalah alutsista yang dimiliki. Kita tahu bagaimana alutsista Indonesia? Tidak perlu dikupas di sini, sebab para pembaca sudah bisa menyimpulkan sendiri. Dalam kondisi yang demikian, maka Indonesia sebagai negara yang berpengaruh di ASEAN selalu mengatakan, “Dalam masalah Laut China Selatan harus dihindarkan penyelesaian secara militer.” Hal demikian sebenarnya menunjukan lemahnya kekuatan militer yang dimiliki Indonesia.

Ketiga, komunitas ASEAN berbeda dengan komunitas Uni Eropa dan Liga Arab. Uni Eropa adalah kumpulan negara-negara di mana penduduknya mayoritas beragama Kristen dan Katolik sehingga bila  negara yang ingin menjadi anggota Uni Eropa namun  mayoritas penduduknya bukan Kristen atau Katolik maka keinginan negara itu akan dipersulit. Lihat saja bagaimana susahnya Turki masuk ke Uni Eropa.

Demikian pula Liga Arab, organisasi ini adalah kumpulan negara yang seluruh penduduknya berbahasa Arab, beretnis Arab, dan beragama Islam. Dari dasar-dasar itulah maka mereka sangat solidaritas ke Palestina, di mana orang Palestina adalah etnis Arab, berbahasa Arab, dan mayoritas beragama Islam. Solidaritas inilah membuat Liga Arab menjadikan Israel sebagai musuh bersama.

Sementara itu ASEAN adalah lain. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini multietnik, bahasa, dan ras. Tidak adanya homogenitas inilah yang tidak bisa menjadikan ASEAN sebagai komunitas yang senasib dan seperjuangan. Sehingga China oleh ASEAN tidak seperti Uni Eropa memandang Turki atau Liga Arab memandang Israel.

Ketiga hal di ataslah yang membuat ASEAN serba bingung menghadapi China. Bila tidak dilawan, China akan semakin sewenang-wenang dan agresif di kawasan Laut China Selatan, namun bila dilawan, kekuatan apa yang dimiliki negara-negara ASEAN.

Dengan demikian, konflik di Laut China Selatan ini akan berlangsung lama dan terus memanas. Jalan pendek yang ditempuh Filipina adalah mengundang Amerika Serikat untuk berpartisipasi secara aktif untuk menyelesaikan masalah di Laut China Selatan. Karena ASEAN tidak mampu menyelesaikan masalah di Laut China Selatan maka ASEAN tidak bisa melarang kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Padahal negara ASEAN menyepakati bahwa kawasan Asia Tenggara adalah zona damai.

Ketidakmampuan ASEAN dalam menyelesaikan masalah kawasan akan membuat organisasi ini tidak bermanfaat bagi anggotanya. Dan dalam masalah ini menunjukan bahwa organisasi ASEAN secara ekonomi rapuh dan secara militer lemah. Akhirnya kawasan Asia Tenggara akan selalu menjadi wilayah konflik, baik ekonomi dan militer, yang melibatkan dan menguntungkan pihak-pihak lain.

Ardi Winangun
Pengamat Hubungan Internasional
 

Menggagahkan Diri Di Teras Depan


Menggagahkan Diri Di Teras Depan


Selat Malaka adalah jalan raya laut yang ramai lancar memisahkan tiga rumah negara bertetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura yang masing-masing punya pagar pengaman yang berbeda.  Sementara selat Singapura adalah jalan raya laut nan sempit padat merayap yang memisahkan Indonesia dan Singapura dan merupakan selat terpadat yang dilintasi berbagai kapal niaga segala ukuran.  Di selat sempit yang memisahkan Batam dengan Singapura, negeri pulau kota itu memagari dirinya dengan beragam alutsista untuk meyakinkan wilayah negerinya yang kecil itu aman dari gangguan berskala apapun. 

Kemampuan intelijen dan teknologinya serta kekuatan alutsista yang dimiliki Singapura memberikan kesan dan pesan agar pihak eksternal jangan bermain api dengannya. Pihak yang dimaksud tentu Indonesia dan Malaysia.  Bedanya adalah negeri kecil itu memang punya rumah kecil yang sekaligus sebagai pusat eksistensi mereka sehingga mereka membentuk kombinasi pertahanan sarang lebah yang siap menyengat jika diganggu.  Jika tak diganggu ya tak apa-apa, namanya juga lebah, tidak ingin mengganggu dan tak ingin diganggu.  Demikian juga dengan Malaysia walau tidak sedahsyat Singapura dalam mengamankan teritorinya di selat Malaka, secara de facto mereka lebih bereaksi cepat jika ada pelanggaran teritori perairannya dibanding dengan Indonesia.
Pulau Nipah, dipersiapkan sebagai beranda yang gagah
Indonesia yang memiliki teritori lahan “semilyar hektar” dan merupakan teritori terbesar di Asia Tenggara juga sudah melakukan pagar pengamanan untuk menjaga kedaulatan teritorinya di batas jalan raya laut yang menghubungkan Asia Selatan, Timur Tengah dengan Asia Timur.  Salah satunya tentu dengan menghadirkan “satpam” berupa kapal patroli TNI AL di sepanjang teras depan rumahnya.  Tetapi harus diakui kehadiran satuan angkatan laut dengan alutsistanya ini belum sampai pada kategori gagah dan kekar.  Kehadiran kapal patroli di teras depan yang bernama selat Malaka dan selat Singapura belum mencerminkan kewibawaan pada sebuah teritori negara yang paling besar wilayahnya, paling besar pula penduduknya dan punya sumber daya alam yang melimpah.

Lalulintas di jalan raya laut seperti selat Malaka dan selat Singapura tentu memerlukan kehadiran negara yang berwibawa dalam bentuk satuan patroli laut  yang siaga penuh dan cepat bereaksi sebagai wujud eksistensi kita  di jalan raya laut yang juga menjadi border negara kita.  Mencontohkan cara kerja PT Kereta Api Indonesia manakala ada kereta api melewati stasiun besar dan kecil baik berhenti atau tidak, selalu ada personil kereta api bertopi yang memberi hormat dan semboyan sehingga kita mengetahui ada kehadiran dan monitoring dalam perjalanan kereta api tadi.

Satuan kapal cepat rudal (KCR) adalah kendaraan yang paling pas untuk memastikan kehadiran angkatan laut yang berwibawa untuk mengawal dan mengamankan teritori negara.  Menghadirkan satuan kapal cepat rudal di selat Malaka dan selat Singapura bukan dimaksud untuk pamer kekuatan tetapi untuk meyakinkan pemakai lalulintas jalan raya laut terpadat itu bahwa mereka berada di salah satu sisi jalan raya laut yang bernama Indonesia. Kehadiran patroli KCR ini juga sekaligus untuk memberikan rasa aman bagi perjalanan kapal niaga dari kejahatan perompakan laut di dua selat ini.  Manfaat lain adalah memberikan sinyal pada negara tetangga yang berbatasan laut dengan RI bahwa kita hadir mengawal teritori dengan postur meyakinkan.
Jet tempur F16 segera ditempatkan 1 skuadron di Pekanbaru
Oleh sebab itu pembentukan satuan kapal cepat rudal di Armada Barat yang sudah diputuskan setahun yang lalu mestinya sudah dapat memberikan warna kehadiran tadi.  Termasuk menambah kuantitas KCR hingga mencapai jumlah mencukupi melakukan patroli laut sepanjang selat Malaka dan selat Singapura every time.  Ketika dibentuk satuan kapal cepat rudal di Armada Barat setahun yang lalu jumlah alutsista berupa KCR tidak lebih dari 10 KCR.  Kita sangat berharap jumlah itu bisa dilipatgandakan menjadi minimal 25 KCR dimana sebagian kapal mengawal perairan Natuna dan sebagian lagi mengawal selat Malaka dan selat Singapura.

Kehadiran satuan tempur Marinir di Riau Kepulauan adalah decision yang bagus untuk mempertegas nilai tambah kehadiran satuan pengamanan berkualifikasi serbu amfibi di teras depan rumah kita.  Bukankah teras atau beranda depan rumah kita adalah lambang kewibawaan sebuah rumah apalagi jika pengamanannya dilengkapi dengan pengaman berkualitas herder.  Ini juga sekaligus ingin mengubah sebuah “peribahasa” yang berbunyi masuk dulu baru digebuk.  Lalu menggantinya dengan syair lagu berirama mars, gebuk dulu sebelum masuk.  Jalan ke arah itu sedang dipersiapkan.  Kita sudah punya satuan Marinir di Lhok Seumawe, Belawan dan yang sedang dipersiapkan adalah satuan tempur Marinir di Batam, Nipah dan Karimun.  

Kombinasi kapal cepat rudal di Armada Barat dan penempatan satuan Marinir di jalan raya laut itu diniscayakan memberikan nilai kegagahan dalam postur pengamanan laut di kedua selat itu.  Sebaran kapal cepat rudal ini bisa dipangkalkan di Belawan, Dumai dan Tg Pinang untuk mengantisipasi kecepatan reaksi dan coverage patroli.  Kegagahan ini akan semakin kinclong manakala 1 skuadron jet tempur F16 sudah memasuki home basenya yang baru di Pekanbaru termasuk skuadron UAVnya sehingga memberi tambahan kekuatan bagi skuadron Hawk yang sudah lebih dulu berhome base di ibukota Riau Daratan itu.

Ada pertanyaaan lalu bagaimana dengan kapal-kapal KKP yang juga melakukan patroli keamanan laut. Jawabannya tetap saja jalankan fungsinya sesuai tupoksi tentu dengan koordinasi Angkatan Laut.  Fungsi kapal-kapal KKP adalah memantau dan menangkap kapal asing yang melakukan kegiatan ilegal fishing di laut teritori kita.  Jika ada insiden antara  kapal patroli KKP dengan negara tetangga, satuan kapal cepat rudal TNI AL bisa memback upnya sehingga kehadiran KCR memberikan nilai gentar bagi keinginan jiran untuk ber insiden dengan kita.
Manuver KRI Clurit dengan 2 Rudal C705
Pemenuhan kebutuhan kapal cepat rudal tidaklah menghadapi kendala karena kapal perang jenis ini sudah bisa diproduksi oleh galangan kapal nasional kita baik PT PAL maupun swasta nasional.  PT PAL sedang mempersiapkan minimal 6 KCR ukuran 60 meter sementara galangan kapal di Batam sudah menghasilkan 2 dari 6 pesanan KCR ukuran 40 meter.  Kapal ketiga akan diserahkan Nopember tahun ini.  Galangan kapal di Banyuwangi juga sedang menyiapkan beberapa kapal perang Trimaran yang juga berkualifikasi KCR. 

Penyiapan KCR bersinergi dengan produksi rudal anti kapal C705 kerjasama dengan Cina.  Dengan membawa 2 rudal C705 sebagai senjata pukulnya maka setiap KCR yang melaju cepat di jalan raya laut beranda rumah kita tentu memberi nilai kegagahan yang meyakinkan sebagai bentuk kewibawaan kehadiran  yang sebanding dengan besarnya rumah yang harus dijaga ini.   Kehadiran KRI Sigma Diponegoro di Singapura untuk menjemput Presiden SBY dari kunjungan ke negeri itu awal bulan ini dan dikawal oleh 2 KCR dari Clurit Class memberikan aura kebanggaan bagi siapapun yang melihatnya.  Akan lebih bangga lagi jika kehadiran itu bukan hanya sekedar menjemput seorang Kepala Negara melainkan dengan kehadiran yang terus menerus di beranda jalan raya laut itu. Bukankah ini bentuk dari formula menggagahkan diri untuk sebuah kepantasan dan kepatutan yang memang harus dipertontonkan di wilayah border yang bernama Republik Indonesia.

Dua Paman Mencari Simpati


Dua Paman Mencari Simpati


Dinamika Laut Cina Selatan (LCS) terus bergema dan berbunyi ulang mengisi kalender matahari sehari-hari. Awal Juni 2012 lewat pertemuan pertahanan multilateral di Hotel Sangri La Singapura Menhan AS Leon Panetta sudah memastikan bahwa kekuatan armada lautnya di Pasifik akan menjadi yang terbesar dengan menggeser perbandingan kekuatan di Asia Pasifik dan Mediteranean menjadi 60:40 dengan target tahun 2020.  Akan ada pergeseran beberapa kapal induk AS dan kapal tempur kelas berat lainnya dari kawasan lain untuk berpindah ke Asia Pasifik.

Tidak itu saja, Vietnam sebagai musuh sejarahnya yang memalukan harus didekati dengan tebal muka demi mendapatkan akses pelabuhan di teluk Cam Ranh yang strategis itu.  Menteri Pertahanan AS Leon Panetta minggu pertama Juni 2012 berkunjung ke kawasan yang pernah menjadi pusat pangkalan militernya ketika terjadi perang Vietnam yang berlarut itu.  Dia pula yang  menjadi petinggi Pentagon yang pertama berkunjung ke Cam Ranh sejak usai perang Vietnam tahun 1975.  Demi strategi menghadapi kekuatan militer Cina, cara apapun harus dilakukan AS untuk mempertahankan hegemoninya di Asia Pasifik dan LCS.  Itulah lagak dan gaya Paman Sam.
Jet tempur latih T50 Golden Eagle segera mengisi skuadron TNI AU
Dengan Indonesia pun langkah pendekatan dilakukan. AS membuka diri untuk pasar senjatanya ke Indonesia, misalnya pengadaan 24 jet tempur F16 blok 52 dengan beragam senjatanya. Demikian juga dengan retrofit beberapa Hercules yang di upgrade dengan ongkos hibah.  Pentagon tentu sudah melihat horizon, sesungguhnya kalau mau berseteru dengan Cina di kawasan LCS, posisi strategis Indonesia adalah yang paling memukau dari segala dimensi apakah itu luas wilayahnya, akses pintu masuk dari lautan Hindia yang dimiliki RI,  dan pengaruhnya yang kuat di ASEAN.

Saling berebut pengaruh di Indonesia antara AS dan Cina bisa kita lihat dari cara mengambil hati mereka.  Seumur-umur perjalanan negeri ini, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja AS mengajak latihan tempur laut dengan TNI AL bareng sama Australia di pantai barat Sumatra tahun 2013.  Lalu ketika ada bantuan hibah sistem integrasi radar pantai dari AS dan sudah jadi, tiba-tiba Cina mengajak RI untuk kerjasama juga dalam pengadaan radar pantai di selat-selat strategis yang menjadi pintu masuk dan keluar dari LCS.

Paman Mao juga tak mau kehilangan momentum. Setelah berbaik hati mau memberikan sekolah teknologi rudal kepada Indonesia, aliran kunjungan petinggi militer negeri itu terus berdatangan ke Jakarta.  Terakhir Jendral Jing Zhiyuan panglima korps rudal Cina dan anggota komisi militer pusat Cina berkunjung ke Jakarta Senin tanggal 18 Juni 2012.  Jendral Jing mengajak TNI untuk mengadakan latihan bersama pasukan khusus dan angkatan laut termasuk pengiriman pilot Sukhoi  TNI AU untuk berlatih di Cina menggunakan simulator Sukhoi. 
RI memesan 9 CN295, 2 diantaranya selesai akhir tahun ini
Tetapi tentu saja yang tak terpublikasikan adalah melakukan supervisi terhadap progress sekolah teknologi rudal yang sedang berjalan itu.  Wong yang datang kan panglima rudal bukan panglima burung loh.  Nilai kewibawaan dan pentingnya kunjungan itu bisa dilihat dari sambutan yang diberikan tuan rumah Kemhan dengan sambutan langsung dari Menhan Purnomo Yusgiantoro, Sekjen Kemhan Marsekal Madya TNI Eris Heryanto dan kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan Brigen TNI Hartind Asrin. Bos Kemhan menyambut panglima rudal Cina demi kesuksesan sekolah rudal.

RI sendiri saat ini sedang melakukan peremajaan alutsistanya dengan mendatangkan beragam alutsista baik produksi DN maupun LN atau kerjasama produksi.  Ini adalah belanja alutsista terbesar RI sejak era Dwikora yang membelanjakan milyaran dollar untuk pengadaan alutsista segala matra.  Bahkan diprediksi dalam kelanjutan MEF (minimum Essential Force) tahap kedua tahun 2015-2019, jika tidak ada perubahan kebijakan Pemerintah, anggaran belanja militer RI menjadi yang terbesar di Asia Tenggara seirama dengan perkuatan ekonomi yang tumbuh meyakinkan.

Seperti dalam sebuah dinamika perjalanan, ketika kita sedang mengisi perbekalan untuk memperkuat basis pertahanan, sejalan dengan itu perkembangan dinamika LCS menghangat dengan klaim Cina atas kawasan LCS dan sibuknya AS mengantisipasi perkembangan militer Cina.  Seperti menemukan ritme dalam alunan lagu berjudul ”Kau Menginginkan Aku”, klop dan seirama, dua-duanya ingin mengambil hati. Ketika perkuatan itu sedang berjalan, Cina dan AS berupaya mencari simpati atau berebut pengaruh di Indonesia.  Maka Paman Mao berbaik hati mendirikan sekolah rudal di Indonesia, sembari berupaya mendapatkan akses informasi pergerakan kapal-kapal angkatan laut AS dengan tawaran radar pantainya.  AS pun tak ingin ketinggalan kereta, sudah duluan pasang radar pantai di jalur ALKI, lalu ngajak latihan perang bareng, kerjasama pelatihan TNI di sekolah militer AS, beri bantuan hibah berbayar untuk 24 F16 dan hibah beneran untuk upgrade 4 Hercules.
Heli serbu Mi35 milik Skuadron 31 Penerbad
Situasi yang penuh dinamika bergelombang ini harus bisa dimanfaatkan Indonesia dengan memaksimalkan peran diplomasi tingkat tinggi sembari mengambil manfaat optimal bagi perkuatan alutsista dan teknologinya. Sambil menyelam minum air, RI harus bermain cantik menghadapi manuver kedua Paman yang lagi bergejolak syahwat militernya.  Peran diplomasi RI sangat diperlukan dalam mendinginkan suhu yang kian memanas untuk saling berebut pengaruh di LCS.  Peran diplomasi ini penting untuk dilakukan karena RI tak punya klaim teritori di LCS sehingga perannya lebih obyektif dan netral.  RI punya hubungan yang baik dan bersahabat dengan Cina dan AS.  Peran yang diambil tentu saja dengan berbaik langkah kepada kedua negara besar ini dan mengajaknya ke jalur dialog kesetaraan.

Beratnya jalan dialog diantara kedua Paman ini karena karakter keduanya memang cenderung keras dan penuh gengsi. Cina yang berjaya dalam perkembangan ekonominya dan akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu didunia setelah tahun 2020 terlihat sangat kaku dalam perilaku, ketat informasi, jarang bicara dan ”jarang pula tersenyum”.  Sementara AS yang merasa tersaingi ekonomi dan militernya dengan Cina terkenal dengan arogansinya, suka mendikte, merasa menjadi polisi dunia sementara yang berseberangan dengannya dianggap tersangka.  Dua karakter ini bisa mendidihkan suhu yang sudah panas di LCS.  Maka langkah militer yang diambil sejatinya bukanlah solusi yang terbaik karena  dengan cara itu bisa saja terjadi konflik skala besar. 

RI sangat diharapkan mampu mendekatkan kedua kutub yang berseberangan itu ketika kedua Paman yang sedang berahi pengaruh berupaya mengambil simpati kepada kita.  Bukankah ini momentum sesunggguhnya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.  Sembari melakukan diplomasi karena kedua mereka sedang berebut simpati, saatnya pula kita memperkuat militer dan teknologinya juga mumpung ketika keduanya sedang berbaik hati kepada kita.  Bukankah ini sebuah dinamika perjalanan memperkuat pertahanan negara sembari mencerdaskan kemampuan diplomasi.  Siapa tahu keduanya lantas duduk satu meja lalu saling sapa dan biarkanlah mereka berunding bertahun-tahun. 

Peran yang dijalankan RI ini dengan mendudukkan kedua Paman bersama beberapa ”keponakan-keponakan” yang lain seperti Filipina, Vietnam dan Malaysiai untuk berunding diniscayakan merupakan prestasi tersendiri bagi diplomasi RI.  Apalagi solusi akhirnya dengan bersalaman satu sama lain untuk  tidak lagi merasa benar sendiri walaupun langkah itu memerlukan waktu bertahun-tahun dan melelahkan.  Tetapi yang terpenting kita juga harus siap dengan kemungkinan terburuk.  Untuk itulah perkuatan alutsista TNI merupakan jalan akbar yang diridhoi oleh seluruh rakyat Indonesia sehingga setidaknya tahun 2020 nanti kita pun siap dengan segala "cuaca" ekstrim yang mungkin terjadi.

Kita Memang Lapar Alutsista


Kita Memang Lapar Alutsista

Kedatangan Presiden SBY ke Darwin Australia tanggal 2 Juli 2012 untuk “menjemput” hibah 4 Hercules dari Australia dan keputusan Kemhan untuk membeli langsung 100 tank Leopard dari Jerman dengan membatalkan beli dari Belanda menyiratkan sebuah keinginan cepat bahwa kita memang lapar alutsista.  Kita masih sangat butuh asupan gizi alutsista untuk memberikan kegagahan bagi hulubalang republik. Khusus Leopard Belanda yang mencla mencle itu keputusan Kemhan perlu diapresiasi karena ini sekaligus ingin menggenggam ketegasan,tak ada akar rotan pun dikejar. Yang jelas rotan lebih bagus dari akar, beli langsung dari yang membuat Leopard.

Indonesia masih sangat membutuhkan alutsista untuk memperkuat satuan tempur TNI segala matra.  Itu sebabnya daftar belanja alutsista kita memang luar biasa kontennya untuk memberikan nilai kecukupan bagi tentara yang mengawal negeri ini.  Tentara kita sudah kenyang dengan latihan fisik, bela diri, survival dan adu ketangkasan.  Yang belum dicukupi adalah gizi alutsista sebagai bagian dari kriteria 4 sehat 5 sempurna dalam postur tentara. Yang ke lima itu tentu alutsista yang modern dan berteknologi karena kita berada dalam era teknologi.  Oleh karena itu kelengkapan tentara bukanlah pedang atau tombak sebagaimana serdadu jaman dulu melainkan piranti teknologi yang tersimpan dalam segala jenis alutsista yang dimiliki.
3 Fregat TNI AL mengawal Jalesveva Jayamahe
Peningkatan kekuatan satuan tempur TNI mestinya tidak lagi berorientasi asal banyak jumlah pasukan namun lebih dikembangkan pada kekuatan alutsista dengan integrasi sistem teknologi pertempuran untuk mendapatkan gelar sebagai pasukan berkualifikasi teknologi tempur dan mampu menjalankannya.  Perkuatan alutsista di berbagai batalyon hendaknya menjadi prioritas termasuk daya gentarnya.  Misalnya untuk Paskhas tidak hanya bertumpu pada rudal jarak pendek QW3 untuk pengamanan Lanud melainkan sudah harus memilik rudal SAM jarak menengah di sejumlah pangkalan angkatan udara.

Sudah banyak alutsista yang dipesan, sudah banyak yang ditandatangani dan tinggal tunggu kedatangan. Tetapi menurut hemat kita itu masih belum mencukupi jika dikaitkan dengan besarnya teritori yang harus dikawal.  Jelasnya kita masih butuh banyak alutsista pemukul apakah itu jet tempur, rudal, roket, artileri, MBT, kapal perang dan kapal selam. Rentang kendali wilayah RI sangat luar biasa besarnya sehingga memerlukan kekuatan alutsista yang setara dengan luas wilayah.  Itu bermakna kekuatan tentara utamanya alutsista yang dimiiki sekarang atau bahkan yang sudah dipesan dan ditunggu kedatangannya sampai tahun 2014 masih belum menggapai kekuatan getar dan gentar.  Kekuatan alutsista TNI sampai tahun 2014 baru sampai pada tahap kekuatan “balita”, belum sampai pada kekuatan anak lanang sesungguhnya.

Contohnya untuk armada kapal selam, kita masih butuh kapal selam lebih banyak dari yang diprediksi sekarang dengan 2 Cakra Class ditambah 3 Changbogo Class.  Kita masih butuh minimal 4 kapal selam setara U214 atau Kilo disamping kekuatan 5 kapal selam yang bakal dimiliki RI sampai tahun 2018 itu.  Changbogo boleh saja diteruskan produksinya oleh PT PAL tetapi kita masih butuh kapal selam yang lebih tangguh untuk mengawal perairan yang luas ini.  Selain kapal selam pertambahan yang signifikan diperlukan untuk armada fregat dan korvet TNI AL.  Kita masih butuh banyak kapal perang untuk mengganti yang sudah uzur atau menambah kekuatan armada itu sendiri. 
KRI Widjajadanu di masa keemasan armada kapal selam RI
Perkembangan geo politik di kawasan Asia Pasifik memerlukan antisipasi dengan ukuran “paling tidak mengenakkan”, dan jalan untuk menghadapi itu adalah dengan perkuatan militer skala penuh.  Bukan untuk mengajak perang tetapi sebagai langkah antisipasi bahwa kami siap menjaga kedaulatan kami.  Sejauh ini Pemerintah dan DPR sudah mengucurkan dana milyaran dollar untuk pengadaan alutsista.  Kebijakan ini didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia.  Meskipun begitu kita tetap mengkhawatirkan serial MEF (MInimum Essential Force) ini manakala ada pergantian pemerintahan tahun 2014.  Mengapa begitu, karena kalau hanya sampai tahun 2014 belanja alutsista belum bisa masuk kategori disegani, melainkan baru sampai pada sebutan memenuhi kekurangan gizi akibat ditelantarkan selama bertahun-tahun.

Negara ini harus punya militer yang kuat untuk meneguhkan eksistensi dan kewibawaannya karena posisi Indonesia dalam peta strategi ekonomi dan militer  kawasan sudah mencerminkan nilai kewibawaan yang penuh gengsi. Kaya sumber daya alam, terbesar dalam jumlah penduduk dan wilayah di Asia Tenggara, kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan 16 besar dunia.  Militer yang kuat akan memberikan sinyal ke segala arah bahwa teritori yang luas dan kaya ini ada dalam jangkauan tempur bagi siapa saja yang hendak melakukan penjarahan kekayaan alam, infiltrasi atau aneksasi ke wilayah NKRI.

Perjuangan untuk pertumbuhan menuju kekuatan alutsista yang gahar sedang ada dalam perjalanan menuju horizon.  Dalam bingkai ini selayaknya kita memberikan dukungan kuat untuk perjalanan menuju target yang diinginkan.  Lihatlah sekeliling kita yang sudah berubah. Jendela LCS (Laut Cina Selatan) yang selama ini tenang semakin bergelombang panas. Pagar halaman belakang rumah tiba-tiba saja hiruk pikuk dengan kedatangan militer adikuasa dan alutsistanya, padahal selama setengah abad ini adem ayem saja. 

Itu sebabnya jangan sampai kita setengah hati  membangun kekuatan militer kita yang tertinggal jauh.  Hari ini dan seterusnya adalah perjuangan yang terus menerus untuk menjadikan tentara kita memiliki persenjataan yang modern dan berteknologi.  Kita memiliki teritori yang berwibawa, strategis dan kaya sumber daya alam.  Kepemilikan yang penuh gengsi itu harus diimbangi juga dengan kepemilikan tentara yang punya alutsista canggih agar terjadi keseimbangan yang terukur diantara keduanya.  Kepemilikan militer yang kuat merupakan payung dalam menjaga gengsi teritori sekaligus kewibawaan berbangsa.  Militer yang kuat menjadi indikator  segan dalam bahasa  dan upaya diplomasi bilateral dan multilateral. Oleh sebab itu kita harus mampu menjaga momentum perkuatan alutsista dan istiqomah dalam perjalanan mencapai horizon itu.

Antara Phnom Penh dan Darwin


Antara Phnom Penh dan Darwin


Minggu ke dua Juli 2012 ada dua berita kejut yang mampu mengejutkan kualitas diplomasi dan intelijen berbagai pihak.  Yang satu terjadi di ibukota Kamboja, yang satu lagi dari Darwin Australia.  Kejutan diplomatik terjadi di Phnom Penh Kamboja ketika dilangsungkan pertemuan para menlu ASEAN tanggal 8 sampai dengan 13 Juli 2012 membahas konflik Laut Cina Selatan (LCS).  Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah ASEAN yang telah berusia 45 tahun, para Menlu 10 negara yang ber urun rembug gagal mencapai kata sepakat dalam memberikan nilai kebersamaan untuk code of conduct LCS.  Dengan kata lain ASEAN untuk pertama kalinya sepakat untuk tidak sepakat mengenai sebuah tema yang dirundingkan intensif.  Dalam terminologi yang lain ini adalah kemenangan diplomasi Cina yang berhasil “meretakkan” keharmonisan ASEAN yang dikenal santun dan kompak dalam menyikapi berbagai hal di rantau kawasan.

Kejutan diplomasi lainnya adalah keberhasilan Australia untuk mengajak Indonesia membawa jet tempur mutakhirnya Sukhoi SU30 ke Darwin untuk mengikuti latihan gabungan angkatan udara terbesar 6 negara yaitu Australia, AS, Indonesia, Singapura, Thailand dan Selandia Baru.  Latihan ini berlangsung 27 Juli hingga 17 Agustus 2012 melibatkan sedikitnya 94 pesawat dan 2.200 pasukan.  Ini menjadi menarik karena seluruh jet tempur yang dilibatkan dalam serial latihan terbesar yang diberi judul Exercice Pitch Black 12 merupakan jet tempur buatan Barat kecuali Indonesia.  Latihan ini mengambil area di Darwin dan Tindal.  Kecuali tuan rumah dan AS yang mengambil area latihan di Darwin dan Tindal peserta dari negara lain hanya bisa mengakses di Air Force Base Darwin.
Jet tempur kelas berat TNI AU, Sukhoi
Upaya bujuk rayu Australia ini sejatinya telah berlangsung lama.  Mereka pun sempat bertandang ke Air Force Base Sukhoi di Makassar, walaupun latihannya hanya dilayani 1 flight F16 TNI AU beberapa waktu lalu.  Sebenarnya bisa saja Australia mengajak Malaysia yang notabene masih tergabung dalam FPDA untuk membawa Sukhoinya dalam latihan ini.  Tetapi mengapa justru Indonesia yang dibujuk rayu untuk ikut serta, mencerminkan betapa rasa ingin tahu dan penasarannya Australia terhadap alutsista strategis TNI AU itu.  Meskipun begitu kita meyakini kehadiran Sukhoi untuk berperan serta dalam serial latihan itu tentu tidak akan membuka telanjang seluruh kemampuan dan keunggulan yang dimiliki Sukhoi dan pilotnya.  Latihan bareng itu di wilayah permukaan yang selalu dukumandangkan adalah untuk lebih mendekatkan hubungan militer antar negara namun di sisi lain selalu ada upaya intelijen militer mengintip kekuatan dan keunggulan alutsista yang dimiliki peserta latihan itu.

Keberhasilan Australia ini tentu tak terlepas dari kesepakatan diplomasi politik tingkat tinggi dari kedua negara.  Belum lama berselang di Darwin juga terjadi kesepakatan hibah 4 Hercules tipe H dari negeri Kanguru itu kepada Indonesia.  Juga tak lama setelah adanya pemberian grasi kepada narapidana narkoba Corby dan pembebasan tawanan kriminal anak-anak warga Indonesia di negeri itu. Australia sangat berkepentingan dengan pertumbuhan kekuatan militer Indonesia yang sedang giat-giatnya membangun perkuatan alutsista tentaranya.  Lebih dari itu Australia seakan hendak mengatakan kepada Cina bahwa: kami sangat berkepentingan dengan posisi strategis Indonesia yang memegang kendali teritori LCS dari wilayah selatan, posisi dimana militer AS dan Australia akan menggunakan dalam skala penuh jika terjadi konflik militer dengan Cina.

Sementara itu Cina dianggap berhasil mencuri perhatian diplomasi dan intelijen dengan keberhasilannnya mengobok-obok ASEAN di Kamboja.  Keberhasilan ini tentu  tidak terlepas dari upaya politik dan intelijen Cina dengan memberi “asupan gizi” untuk sahabat tradisionalnya Kamboja yang memang sudah menjadi sekutu dekatnya. Kamboja banyak menerima bantuan ekonomi dari Cina untuk pembangunan infrastruktur, telekomunikasi dan teknologi.  Dengan kucuran dana besar dari Cina dan tekanan politik yang menyertainya, Kamboja yang saat ini menjadi Ketua ASEAN akhirnya tak mampu memberikan kekuatan persahabatan pada kebersamaan ASEAN, karena sudah berhutang budi dengan Cina.  Pertemuan para Menlu ASEAN yang gagal mencapai komunike bersama itu menjadi pusat pemberitaan yang hangat di seluruh dunia dan menganggap ASEAN sudah terkotak berdasarkan blok pengaruh.
Latihan gabungan TNI AL dan AL Australia, Kupang-Darwin
Secara historis 10 negara ASEAN memang bertolak belakang dalam haluan dan cerita sejarahnya.  Pendiri ASEAN, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura pada saat deklarasi ASEAN merupakan kumpulan negara yang ada dalam pengaruh Barat dalam pembangunan ekonominya.  Ini beda dengan kawasan Indocina yang bergabung belakangan setelah usai perang Indocina tahun 1975.  Karakter politik Vietnam, Kamboja dan Laos berbeda karena mereka berhasil mengalahkan pengaruh Barat dalam perang yang berkepanjangan itu. Kedekatan Kamboja dengan Cina memberikan dampak ketika klaim Cina terhadap LCS dan perkembangan militernya mengharuskan Kamboja menanggalkan kesetiaan kebersamaan ASEAN sehingga ini dianggap sebagai menjual  harga diri untuk sebuah sebutan politik balas budi kepada Cina.

Kawasan ASEAN saat ini secara nyata telah diajak untuk memilih dua jalan yang saling merenggangkan satu sama lain. AS melakukan langkah progresif dengan menempatkan kapal tempurnya di Singapura.  Vietnam pun dibujuk agar bersedia memberikan akses militer untuk AS di teluk Cam Ranh.  Demikian juga dengan Thailand, AS berkeinginan memanfaatkan pangkalan udara U Tapao di Thailand untuk kepentingan militernya.  Filipina jelas berada dalam payung militer AS. Malaysia yang termasuk keluarga FPDA bersama Australia dan Inggris punya klaim dengan Cina sudah tentu berada dalam satu paduan suara dengan Vietnam, Filipina dan Brunai, sama-sama menentang Cina.

Satu-satunya negara ASEAN yang masih mampu berada dalam persahabatan ke semua arah adalah Indonesia meski secara jelas kita bisa memahami bahwa telah terjadi rebutan pengaruh antara AS dan Cina untuk merangkul Indonesia.  Militer Cina dan  Indonesia baru-baru ini melakukan latihan bersama pasukan khusus ber tajuk “Sharp Knife II/2012” di Jinan Shandong Cina selama dua minggu. Cina pun berbaik hati dengan memberikan akses bagi pilot-pilot Sukhoi  TNI AU untuk berlatih dengan menggunakan simulator Sukhoi di Cina.  Tak lama kemudian giliran Australia yang sukses mengundang Indonesia untuk partisipasi di Pitch Black Darwin, tentu dengan upaya diplomasi tingkat tinggi.

Saling berebut pengaruh antara Cina dan AS tentu akan merepotkan kelangsungan perjalanan ASEAN.  Oleh karena itu peran diplomasi yang diprakarsai Indonesia untuk menyamakan langkah bagi semua anggota ASEAN merupakan pekerjaan diplomatik yang menguras energi dan stamina.  Langkah yang dilakukan Menlu Marty Natalegawa yang melakukan safari kunjungan ke negara anggota ASEAN sejauh ini menghasilkan konsensus untuk kembali ke ”jalan yang benar”.  Namun ke depan situasi keretakan itu diniscayakan akan berulang kembali karena langkah progresif AS yang overdosis akan dibalas dengan agresivitas kehadiran kapal perang Cina di LCS dan langkah diplomasi bertajuk kerjasama ekonomi dan kerjasama pertahanan dengan beberapa negara ASEAN. 

Sekedar test case Cina juga sudah mampu menjalankan politik gertak ekonomi dengan Filipina karena terus menerus berteriak dengan kehadiran kapal-kapal perang Cina di LCS.  Cina mengurangi impor beberapa komoditi holtikultura  dari Filipina dan mengurangi jumlah wisatawannya berkunjung ke Filipina.  Nah ketika sebuah fregat Cina melintas di kawasan yang disengketakan dengan Filipina awal Juli ini dan sempat karam katanya, Filipina tidak lagi berteriak keras. Alamak, macam mana pula itu.

Mengkritisi Australia



Tetangga selatan kita yang lokasi geografinya terpencil dan sendirian berwajah Eropa di koridor Asia Pasifik boleh dikata dan jujur sepanjang sejarah perjalanan republik ini bukanlah tetangga yang berhati tulus.  Australia selalu memandang Indonesia sebagai tetangga yang besar tetapi mereka merasa lebih tinggi kastanya.  Ini tak terlepas dari kultur Eropa yang selalu memandang bangsa Asia dan Afrika sebagai bagian dari sisa sejarah kolonialis sehingga pola kultur yang dikedepankan tak bisa lepas dari kriteria merasa lebih unggul kualitas dan performansi segala dimensi.

Australia ikut “membela” RI ketika Trikora menuju perang terbuka dengan Belanda awal tahun 60an.  Pertimbangannya tentu sama dengan ketakutan AS pada kesiapan kekuatan militer RI waktu itu berdasarkan laporan intelijen AS yang ready for war dalam hitungan minggu.  Kesamaan pandang itu adalah daripada dipermalukan dan dikalahkan bangsa Asia, persaudaraan Barat dengan leader AS menginginkan jalan diplomasi untuk melepas Papua sehingga Belanda kalah terhormat.  Jika terjadi perang terbuka dengan RI, prediksi intelijen AS menyebut Belanda akan dikalahkan oleh kekuatan militer RI dengan 12 kapal selam yang paling ditakuti saat itu.  Australia bersama AS membentuk tim diplomasi komisi tiga negara untuk dibawa ke PBB dalam penyerahan Papua tahun 1963 ke RI.
Pembom Strategis AURI yang ditakuti Australia
Ketika Dwikora dikumandangkan, Australia bersama Inggris yang sejatinya adalah “ibu kandung yang membuang dirinya” ikut mengirim pasukan dan disebar di Kalimantan.  Kali ini Australia berperan sebagai musuh RI yang bersama Inggris menjadi pagar pengaman Persekutuan Tanah Melayu bentukan Inggris untuk melawan kemarahan Soekarno.  Perubahan haluan politik RI setelah tahun 1965 mengharuskan Dwikora dihentikan dan tak lama setelah itu ASEAN berdiri tahun 1967 sebagai bentuk kesepahaman bertetangga diantara negara-negara Asia Tenggara.

Alutsista made in blok Timur mulai kehilangan gigi karena ketiadaan suku cadang.  Era tahun 70an kondisi alutsista TNI sangat memprihatinkan.  Australia dengan berbagai syarat menghibahkan 1 skuadron jet tempur F86 Sabre, puluhan pesawat Nomad dan puluan kapal patroli kepada Indonesia.  Syaratnya tentu dengan tidak lagi memakai alutsista blok Timur yang memang sudah mati suri.

Timor Timur bergolak diakhir tahun 1975, dengan Fretilin yang berhaluan kiri menguasai wilayah itu.  Pada waktu itu era perang dingin lagi “berdarmawisata” kemana-mana sehingga jika dibiarkan berkuasa maka komunis sudah berada di gerbang utara Australia dan di halaman belakang RI.  Setelah kunjungan Presiden Gerald Ford ke Jkt dan memberi “restu” maka pasukan Indonesia melakukan operasi militer di Timor Timur.  Australia tentu merasa senang karena tak perlu biaya untuk membendung paham komunis yang meloncat tiba-tiba dari Indocina ke depan Darwin.

Ironisnya ketika perjalanan sejarah menunjuk tahun 1999, ketika perang dingin sudah usai dengan bubarnya Uni Sovyet dan tamatnya Yugoslavia  beberapa tahun sebelumnya, Australia berbalik haluan dan berupaya ingin memerdekakan Timor Timur.  Peristiwa sejarah ini sejatinya sangat menyakitkan Indonesia apalagi ketika itu terjadi krisis ekonomi maha hebat di tanah air. Sudah jatuh tertimpa tangga, tiba-tiba tetangga sebelah menggedor-gedor jendela rumah. Arogansi ini dalam kacamata militer merupakan tusukan bayonet yang menikam apalagi ketika sejumlah Hornet Australia melakukan parade sampai diatas Ambon malam hari sebagai reaksi dicegatnya Hornet mereka oleh Hawk TNI AU  di pulau Roti NTT ketika sedang dalam perjalanan dari Darwin menuju Singapura siang harinya.
Jet Tempur Hawk di Air Force Base Halim Jakarta
Sibuknya Australia mengurusi soal Timor Timur terkesan overdosis dan angkuh.  Persahabatan yang dibangun bertahun-tahun ketika Paul Keating menjabat PM Australia sirna tak berbekas. Kedatangan militer Australia di Dili memakai baju Interfet seperti hendak mempertunjukkan kehebatannya sebagai malaikat penolong kepada rakyat Timor Timur.  Tetangga selatan itu sekali lagi membuktikan kriteria persahabatan berdasarkan kepentingan tanpa mengindahkan perasaan tetangganya.  Dan memang kultur Eropa berada dalam rekam jejak yang seperti itu.

Bertetangga dengan orang Barat yang terlempar ke benua selatan itu mestinya tidak boleh disikapi dengan kepolosan dan inferior diri.  Catatan sejarah bertetangga dengan Australia yang menjadi ukuran evidence bisa menjadi barometer nilai keikhlasan bertetangga negeri Kanguru itu.  Kultur Barat yang selalu merasa superior adalah karakter mereka, sayangnya mereka tak memahami kultur dimana mereka berada yang sesungguhnya berada di kawasan Asia yang menjunjung rasa hormat satu sama lain.  Jepang, Korea dan Cina misalnya kehebatan ekonominya tak lantas membuat mereka arogan karena punya kultur Asia yang diam-diam menghanyutkan.  Ini bertolak belakang gaya diplomasi Australia yang mendikte, merasa lebih tinggi unjuk dirinya,  tetapi tak mampu mengedepankan kesejajaran dalam bersilaturahmi.

Dalam soal Papua diyakini Australia memasang topeng bermuka dua.  Statemen pemerintahannya selalu menyuarakan bahwa Papua bagian dari NKRI, Papua satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan RI. Namun muka yang lain selalu melangkahkan aroma yang berbeda.  Papua selalu dijadikan Australia komoditi politik untuk menaikkan citra pemerintahan atau partai oposisi.  Demikian juga dengan persetujuan negeri itu untuk menjadikan Darwin sebagai pangkalan militer dan Marinir AS sempat membuat Menlu Marty berang ketika berlangsung KTT Asia Timur di Bali Nopember tahun silam.  Bagaimana tak berang, arogansi Australia ditunjukkan di KTT yang juga dihadiri Presiden Obama dan PM Cina Wen Jiabao dengan mengumumkan penempatan 2500 marinir AS di Darwin.  Jelas dong waktu dan tempatnya kurang pas, orang mau meeting  malah diprovokasi dengan statemen seperti itu.

Perkuatan militer Indonesia saat ini tentu tak terlepas dari pantauan intelijen dan pemikir strategis hankam Australia. Kehadiran Skuadron Sukhoi di Makassar menjadi referensi betapa kekhawatiran negeri itu pada tetangganya yang besar ini semakin kuat.  Walaupun mereka sudah diperkuat dengan 24 Superhornet yang baru dan menunggu kedatangan F35 tetap saja mereka berpandangan keunggulan  militernya seperti hendak diambil alih oleh Indonesia.  Dalam pandangan kita, dua tahun terakhir Australia menunjukkan sikap ingin bersahabat dengan militer Indonesia.  Dan setiap ajakan untuk bersahabat pada sahabat yang pernah dilukainya tentu harus ada ongkosnya.  Maka hibah 4 Hercules itu bisa jadi bagian dari ongkos untuk mengambil hati RI.  Lalu berhasil membujuk RI agar Sukhoi TNI AU ikut gabung dalam Pitch Black di Darwin akhir bulan ini .
Skuadron Sukhoi, alutsista strategis TNI AU
Sekedar berandai-andai jika perkuatan Alutsista TNI sudah sampai pada MEF tahap ketiga, sangat diyakini bahwa Australia akan mengidap penyakit anyar, namanya virus SNTTN, sesak nafas tidur tak nyenyak.  Nah sebelum virus itu berkembang biak maka vaksin antivirus itu mulai sekarang harus dikembangkan.  Salah satu caranya tentu dengan merangkul Indonesia agar bisa dekat dengannya, syukur-syukur bisa masuk persekutuannya untuk menghadapi Cina.  Apalagi perkembangan laut Cina Selatan (LCS) yang makin dinamis dan terkadang panas dalam membuat Australia dan sekutunya AS memasang kuda-kuda karena juluran lidah naga Cina sudah mengendus LCS dan bersiap menerkamnya manakala gizi militernya sudah siap tahun 2020 nanti.

Bersahabat dengan semua negara itu penting, tentu berdasarkan kepentingan nasional kita dan kesetaraan “gender”.  Jangan sampai kita sebagai negara besar nomor empat terbesar di muka bumi ini dianggap belum setara gendernya di mata Australia seperti yang selama ini ditunjukkannya dalam bingkai pertemanan.  Dengan menggelontorkan sejumlah bantuan dan hibah untuk mengambil hati,  maksud dan tujuannya disampaikan kemudian, jelas merupakan persahabatan atas nama pamrih dan balas budi.  Mestinya Australia mengedepankan bahasa kultur kepada tetangganya dan juga tetangga lainnya di Asia Tenggara. Beramah tamahlah dengan jirannya.  

Yang menarik tentu saja pernyataan Menlu Australia yang mengucapkan selamat berpuasa bagi muslim Indonesia beberapa hari lalu seakan menyiratkan apakah ini juga bagian dari upaya mengambil hati Indonesia, entahlah.  Yang jelas saling menghargai kultur, memahami kultur Asia, memahami kebhinnekaan Indonesia, tidak mengompori Papua, tidak suka mendikte, tidak merasa arogan dan superior merupakan prasyarat jika Australia ingin mengambil hati rakyat Indonesia, sekali lagi rakyat Indonesia.   Susah senang, haru biru, luluh lantak, hancur minah telah dialami negeri ini bersama cerita perjalanannya dan yang pasti negeri ini sedang menuju pertumbuhan kekuatan yang pasti.  Menuju PDB 1 trilyun dollah, pendapatan per kapita sudah US$ 4.000, kekuatan ekonomi 16 besar dunia, kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, militernya pun mulai menggeliat.  Jika Australia melihat dari periskop ini belum terlambat dia taubat nasuha untuk kemudian memandang negeri ini dari dimensi kesetaraan dalam berjiran.

K-FX/I-FX : Sebuah Langkah Awal Menuju Kemandirian Alutsista

Semangat pagiiiiiii… Semangat pagi semuanya…. Seperti penyiar Radio Prambors FM yang selalu menyapa saya di setiap paginya.. Indra Bekti dan Gina benar-benar mencerahkan hari-hari saya. Lagu-lagu mereka yang mereka putar dan komentar-komentar ngeyel mereka benar-benar menyegarkan hari-hari saya. Hal ini membangkitkan kembali semangat saya untuk menulis artikel kembali. Mudah-mudahan semangat pagi ini membuat tulisan ini juga di inspirasi oleh semangat yang menyala-nyala.


Okay, kali ini saya akan mengangkat tulisan dengan tema seputar Joint development KFX antara Korea selatan dan Indonesia. Sebenarnya saya sudah pernah mengangkat tulisan dengan topic yang sama persis beberapa bulan yang lalu. Namun kali ini pun saya akan mengangkat tema yang sama. Kenapa saya mengangkat topic yang sama sih??? Mungkin anda bertanya-tanya seperti itu. Nah tulisan ini saya tuliskan kali ini adalah sebuah perspektif baru dan saya sengaja tuliskan sebagai Counter Back atas tulisan Bro Mudhy di Kompasiana yang berjudul Kesalahan Akuisisi Alutsista: KF-X, Elang Salah Asuhan.



Tulisan bro Mudhy ini mengenai KFX ini adalah tulisan yang cukup memberikan kontroversi di Kompasiana dan juga di Kaskus Militer. Kontroversi ini muncul karena banyak bagian dari tulisan bro Mudhy yang ‘bertentangan’ dengan logika umum yang selama ini sudah di terima secara umum oleh komunitas pecinta dunia militer. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan bro Mudhy yang sedikit hiperbola, dan dari gaya bahasanya juga sepertinya memandang semua hal dijalankan oleh Pihak Pemerintah memalui Kemenhan dan TNI AU sudah berjalan pada jalur yang salah. Hal ini lah yang memancing kontroversi kecil di Kompasiana dan juga Kaskus Militer.


Tulisan bro Mudhy di Kompasiana yang awalnya tidak mendapat banyak perhatian pengunjung Kompasiana akhirnya menjadi panas, setelah tulisan tersebut di posting di Forum Kaskus Militer oleh salah satu anggotanya. Sontak tulisan yang memiliki judul sangat provokatif tersebut langsung mendapatkan tentangan dari para anggota Forum Kaskus Militer. Tidak hanya di kaskus, di Kompasiana pun, banyak pengunjung Forum Kaskus Militer juga berlomba-lomba memberikan komentar kontra terhadap tulisan Bro Mudhi di Kompasiana.


Sebenarnya dari segi kontroversi tulisan itu adalah hal yang biasa. Masalah pro dan Kontra terhadap sebuah tulisan adalah sebuah hal yang wajar, demikian halnya dengan perdebatan pro dan kontra juga tidak akan menjadi masalah, jikalau setiap komentar di berikan argumentasi yang masuk akal dan didasari oleh fakta yang bisa dipertanggung jawabkan. Namun gaya bahasa bro Mudhy yang sepertinya sedikit ‘susah menerima pendapat’ orang lain dan cenderung ‘menganggap pendapatnya adalah yang paling benar’, membuat diskusi di Kaskus dan Kompasiana menjadi semakin mirip seperti Monolog karena Bro Mudhy selalu memberikan komentar yang susah diterima dengan ‘akal sehat’ para pecinta dunia militer.


Tulisan ini pun saya tujukan sebagai sebuah masukan bagi Bro Mudhy dari apa yang saya pahami dan saya ketahui selama ini. Hal ini menurut saya penting saya berikan karena tulisan bro Mudhy yang ‘susah diterima akal sehat’ jika tidak di counter back tentu akan memberikan pemahaman yang salah bagi orang awam yang membaca artikel beliau. Meluruskan hal yang menurut saya tidak tepat pada tulisan beliau, agar pembaca awam tidak tersesatkan adalah misi yang saya emban dalam menulis artikel kali ini.



Perbedaan Akuisisi dan Joint Development. 


Judul dari tulisan bro Mudhy mengandung kata-kata ‘Akuisisi’ yang berbeda dengan tulisan saya sebelumnya yang saya tuliskan dengan Join Development. Tidak dijelaskan dengan jelas dalam tulisan beliau, apa makna pengertian ‘Akuisisi’ dalam konteks tulisan beliau. Namun pada bagian awal tulisan tersebut kita akan menemukan kata-kata berikut “ Pilihan Indonesia bergabung dengan pembangunan KF-X adalah pilihan yang salah dan diambil tanpa pertimbangan matang.” Dalam tulisan selanjutnya juga kita menemukan kata-kata pengembangan seperti perbedaan focus pengembangan Indonesia dan Korea Selatan dalam KFX ini, maka dapat kita pahami bahwa pengertian beliau dan saya tidak jauh berbeda. Yaitu bahwa Indonesia bergabung dengan Korea Selatan dalam membangun dan mengembangkan pesawat baru yang diberi nama project KFX/IFX. Ini juga berarti bahwa Indonesia tidak sekedar membeli KFX, tetapi ikut terlibat aktif dalam pengembangan KFX, mulai dari desian awal, pembuatan prototype, mass production sampai pada KFX/IFX memasuki inventori TNI AU.


So, karena adanya ‘persepsi’ dalam hal ini, maka dapat saya simpulkan bahwa Akuisisi yang bro Mudhi maksud adalah bergabungnya Indonesia dalam Project pengembangan KFX/IFX bersama Korea Selatan. Pendapat saya ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Indonesia dan Korea selatan memang bergabung dalam project pengembangan KFX/IFX ini, yang tepatnya saya sebut Joint Development (Pengembangan Bersama). Perhatikan foto di bawah ini :


Penandatangan Join Development KFX


Gambar diatas adalah gambar penandatanganan kontrak antara Indonesia dan Korea Selatan dalam Joint Development KFX/IFX beberapa waktu yang lalu. Pada gambar diatas akan kita lihat dengan jelas bahwa kontrak yang di tandatangani adalah Joint Development, bukan ‘Akuisisi’ atau pembelian atau sejenisnya. Jadi sekali bahwa istilah yang saya gunakan yaitu Joint Development KFX/IFX bukanlah tanpa didasari fakta, sehingga kebenaran istilah ini bisa dipertanggung jawabkan. 


Kalau maksud bro Mudhi dalam kata-kata “akuisisi” yang digunakan dalam judulnya bukan menggambarkan bahwa Joint Development antara Indonesia dan Korea Selatan, maka mungkin menjadi pertanyaan besar apa yang dimaksud dengan “akuisisi” versi bro Mudhi ini. Tapi dari perjelasan beliau dalam tulisannya, sepertinya tidak ada yang bisa memberikan gambaran jelas mengenai apa akuisisi yang bro mudhi maksudkan.



Konsep Workhorse secara umum


Selain itu, ada beberapa hal yang perlu di luruskan terlebih dahulu sebelum saya jauh mengomentari tulisan bro Mudhy. Hal ini sangat penting, karena dalam tulisan bro mudhi sepertinya istilah ini sama sekali tidak dipertimbangkan. Istilah yang saya maksud adalah istilah Workhorse. Hal ini juga sudah saya tanyakan di Forum Militer kaskus, apakah Bro Mudhi mengerti dengan konsep workhorse dalam pertahanan udara? Namun bro mudhi sama sekali tidak ada memberikan jawaban mengenai pertanyaan ini. Beberapa anggota formil kaskus lainnya juga menanyakan hal yang sama, namun lagi-lagi tidak dijawab. Dan didalam tulisan beliau, konsep workhorse ini sama sekali tidak di singgung, sehingga saya menarik ‘hipotesa’ bahwa Bro Mudhi memang belum mengerti konsep workhorse dalam pertahanan udara.


Untuk itu saya kira saya perlu menjabarkan konsep workhorse yang umum digunakan dalam angkatan udara setiap negara. Penjabaran akan konsep ini akan menolong kita untuk memahami letak kesalahan dari tulisan bro mudhi. Penjabaran ini saya buat dalam bentuk analogi sederhana untuk menolong kita memahami konsep workhorse ini. WorkHorse secara kasarnya dapat kita artikan sebagai ‘kuda pekerja’ (tentu istilah ini tidak tepat, namun saya kira cocok sebagai gambaran) dalam pertahanan udara suatu negara. Seperti namanya, ‘Kuda Pekerja’ adalah ‘Kuda’ yang akan digunakan dalam menjalankan tugas-tugas penjaga kedaulatan udara setiap harinya.


Nah dalam konsep workhorse ini, maka kekuatan udara suatu negara akan di bagi dalam beberapa kelompok Jet Fighter. Biasanya minimal 2 jenis Fighter, namun ada juga yang 3 jenis fighter. Sebagai contoh Indonesia saat ini memiliki 3 jenis Fighter, yaitu :

1. Sukhoi 27/30 sebagai Main Fighter (ini istilah saya) =>Heavy Fighter
2. F-16 Block 15 OCU sebagai Workhorse
3. F-5 E/F sebagai Light Fighter


Jadi saat ini kekuatan utama dari TNI AU terletak kepada 10 pesawat Sukhoi 27/30 yang bermarkas di Makassar. Pesawat ini akan menjadi kekuatan pemukul untuk menghancurkan kekuatan musuh yang mencoba mengganggu kedaulatan Udara Indonesia. Namun pesawat ini tidak akan digunakan sebagai pesawat ‘Peronda’ yaitu pesawat yang melakukan patrol rutin di wilayah udara Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak factor diantaranya biaya operasional pesawat yang jauh lebih besar di bandingkan dengan F-16, besarnya biaya maintenance, penghematan usia airframe pesawat, factor efisiensi, dan lainnya. Faktor Efisiensi maksudnya adalah kalau hanya untuk melakukan patrol rutin yang sudah bisa dilakukan dengan pesawat F-16 yang memiliki biaya operasional lebih rendah, tentu penggunaan Sukhoi sebagai pesawat patrol tentu akan ‘mubazir’ dan kurang efisien. Pesawat Sukhoi ini hanya akan di keluarkan dalam menghadapi misi khusus serta dalam melakukan latihan rutin skuadron sukhoi ini.


Sedangkan pesawat F-16 yang memiliki biaya operasional dan maintenance yang lebih murah dibandingkan dengan Sukhoi, tentunya lebih cocok digunakan sebagai pesawat ‘peronda’ atau istilah kerennya sering di sebut sebagai pesawat ‘Workhorse’. Lagi pula secara spesifikasinya, pesawat F-16 ini sudah mencukupi untuk memenuhi criteria pesawat patrol rutin di TNI AU. Memang secara efek gentar, tentunya pesawat Sukhoi pasti lebih menggetarkan dibandingkan dengan F-16. Namun untuk sekedar patrol rutin, F-16 sudah mencukupi melakukannya. Lagi pula, jika di butuhkan Sukhoi dapat bergabung membantu F-16 untuk menghadapi musuh yang sudah di deteksi oleh pesawat F-16 yang berpatroli sebelumnya. Dengan kata lain, Sukhoi adalah back up dari F-16 dalam menjaga kedaulaan udara Indonesia. Dengan kata lain, bahwa F-16 ini akan lebih memiliki banyak peranan dalam berpatroli di udara Indonesia di bandingkan dengan Sukhoi.
Untuk F-5 E/F TNI AU saat ini secara teknologi sudah cukup tua dan secara biaya operasional juga sudah cukup mahal dikarenakan usia pesawat, sehingga tidak efisien di gunakan sebagai pesawat workhorse. Namun pesawat ini tetap bisa digunakan untuk misi khusus dan membantu peranan F-16 dan juga Sukhoi.


Hampir semua negara juga menerapkan pola yang sama, walaupun ada juga negara-negara yang tidak/belum menerapkan pola ini. Sebagai contoh, Korea Selatan yang memiliki Ratusan pesawat F-16 dan puluhan F-15. Pesawat F-16 digunakan oleh ROKAF sebagai workhorse, sedangkan F-15 sebagai main fighternya yang akan dikeluarkan dalam misi khusus. Bahkan negara sebesar Amerika juga menggunakan konsep yang sama, dimana tulang punggung kekuatan udaranya adalah F-16 yang digunakan sebagai workhorse, sedangkan F-15 sebagai main fihternya. Itulah sebabnya jumlah F-16 amerika tetap jauh lebih banyak di bandingkan dengan F-15 mereka. Kedepan pola ini juga tetap di pertahankan dimana F-16 sebagai workhorse akan digantikan peranannya oleh F-35, sedangkan F-15 sebagai main fighter akan digantikan peranannya oleh F-22. Rusia juga menggunakan konsep yang sama, dimana tulang punggung kekuatan udara mereka adalah pada Mig-29 sebagai workhorse angkatan udara mereka, sedangkan Sukhoi-27/30 sebagai kekuatan utama mereka.


Nah kira-kira seperti inilah konsep workhorse yang banyak diterapkan di negara-negara di dunia. Hal ini dilakukan untuk mencapai superioritas udara namun tetap juga memperhatikan factor efisiensi dan penghematan anggaran.



Klasifikasi Fighter secara umum


Salah satu poin yang perlu diluruskan dalam tulisan bro mudhi adalah klasifikasi fighter yang sedikit rancu sehingga menimbulkan salah persepsi bagi pembaca. Bro mudhi dalam tulisannya sering sekali menggunakan istilah fighter kecil dan fighter besar yang sedikit rancu. Nah dalam pengertian saya dari hasil diskusi dan menjadi silent reader di Kaskus, forum militer Pakistan, forum militer singapura, dan forum militer internasional lainnya, saya mendapatkan pengertian umum mengenai klasifikasi fighter ini. Klasifikasi fighter ini dapat saya jabarkan secara singkay sebagai berikut :

1. Heavy Fighter (Fighter Kelas Berat), contohnya : Sukhoi-27/30, F-15, F-22, Sukhoi FAKPA, dll
2. Medium Fighter, contohnya : F-16, F-18, Rafale, Thypoon, Griffin, Mig-29, dll
3. Light Fighter (Fighter Kelas ringan), contohnya : F-5, Mig-21, dll


Penentuan suatu jet fighter masuk dalam kategori yang mana adalah tergantung pada dimensi fisik pesawat, maximal payloadnya, combat radius, bobot pesawat dan lainnya. 


Nah selain Fighter, masih ada tipe pesawat tempur lainnya yang lebih cocok di sebut sebagai pesawat serang (Atacker), seperti Hwak-209/109, Mig-23, Super Tucano, A-50, dan sejenisnya. Pesawat-pesawat ini memang dirancang untuk serangan darat sehingga lebih cocok disebut pesawat serang. Memang pesawat ini juga memiliki kemampuan untuk bertarung di udara dengan pesawat lain, tetapi sangat terbatas dibandingkan dengan fighter murni seperti F-6, Sukhoi, dan lainnya.


Okay sampai disini sebagai penghantar awal, sekarang mari kita masuk kedalam koreksi tulisan bro mudhi versi saya (versi anak kuliahan ya). Tulisan yang ingin saya koreksi mencakup tulisan artikel secara keseluruhan dan komentar bro Mudhi dalam berdiskusi mengenai topic ini di Kaskus dan juga di Kompasiana.



Indonesia Memerlukan Fighter Besar, Korea Selatan Butuh Fighter Kecil? 


Dalam tulisan tersebut bro Modhi menyebutkan bahwa KFX tidak cocok untuk Indonesia karena merupakan Fighter kecil, yang lebih cocok di gunakan oleh Korea Selatan. Perhatikan petikan tulisan berikut :

 Dari sisi geografis, Korea Selatan berbentuk satu daratan yang efisien dijaga oleh fighter kecil dengan radius tempur 750km (asumsi peningkatan 50% dari radius tempur F-16). Pada geografis Korea Selatan, fighter tidak perlu membawa terlalu banyak senjata karena bisa kembali ke pangkalannya untuk dipersenjatai kembali.


Ditambah lagi dengan table yang menggambarkan perbedaan kebutuhan dan focus Korea Selatan dan Indonesia seperti table di bawah ini :


Komentar Mudhi


Nah dari tulisan dan table diatas serta beberapa komentar bro mudhi di Kompasiana dan Kaskus, saya mendapati sebuah kesimpulan bahwa menurut Bro Mudhi, Indonesia tidak cocok menggunakan fighter kecil dan lebih cocok menggunakan fighter besar. Sedangkan Korea sebaliknya. Selanjutnya KFX yang menurut beliau adalah Fighter kecil tentu tidak cocok dengan kebutuhan Indonesia. Korea kita tau sendiri menggunakan tiga type Fihgter, yaitu :


Jenis-jenis Fighter Korea


Memang secara luas wilayah, F-16 saja sudah cukup menjaga kedaulatan Korea selatan. Namun disini terlihat dengan jelas bahwa, factor yang menentukan Korea dalam memilih F-15 selain KF-16 sebagai fighter mereka tidak hanya dari segi wilayah. Tetapi juga mempertimbangkann factor geopolitik mereka, factor kekuatan fighter negara tetangga, factor efek gentar, dan lainnya. Sehingga untuk focus pengembangan Fighter Korea tentu bukan hanya untuk Light Fighter seperti yang di sebutkan bro Mudhi. Kita tau sendiri bahwa untuk Light fighter, Korea Selatan telah mengembangkan F/A-50 dan untuk Medium Fighter Korea selatan mengembangkan KFX bersama Indonesia.



Indonesia Memerlukan Fighter Besar, Bukan Fighter Kecil? 


Disini tulisan bro mudhi tersebut, kita menangkap ada dua point yang disampaikan bro mudhi, yaitu Indonesia tidak butuh Fighter Kecil, tapi butuh Fughter Besar dan KFX adalah Fighter Kecil (bukan fighter medium dan juga heavy fighter). Nah permasalahannya adalah apakah kedua statement bro Mudhi ini benar-benar tepat atau malah statement ini salah? Mari kita kaji satu persatu.


Indonesia Effisien dijaga Fighter besar, sehingga memerlukan Fighter besar, bukan kecil? Memang benar bahwa wilayah Indonesia jauh lebih luas dibanding dengan wilayah Korea Selatan. Kalau focus mempertimbangkan kebutuhan fighter hanyalah kondisi geografis itu tentu ada benarnya juga. Tetapi pertanyaannya, apakah pemilihan kebutuhan fighter hanya di pengaruhi oleh kondisi geografis? Menurut saya terlalu dangkal pemikiran yang mengatakan bahwa factor penentu pemilihan fighter hanyalah dari kondisi geografis. Masih banyak lagi factor lain yang berperan, diantaranya peta kekuatan fighter di negara tetangga, factor efisiensi biaya operasional dan maintenance, factor geopolitik dan factor lainnya.


Nah karena focus dari bro mudhi adalah Efisiensi penggunaan Fighter besar di Indonesia. Mari kita cerna apakah menggunakan fighter besar efisien di Indonesia? Contoh fighter besar yang pernah di kemukakan oleh bro mudhi di Kompasiana dan Kaskus adalah Sukhoi-27/30, F-15, Sukhoi PAKFA. Misalkan, kita mengikuti saran dari Bro Mudhi dimana Indonesia menggunakan Sukhoi sebagai fighter tunggal di Indonesia, tanpa F-16, F-5 dan lainnya. Katakanlah jumlahnya minimal 4 Skuadron (64 pesawat) seperti yang bro mudhi tuliskan di Kompasiana dan Kaskus. Memang secara logika sederhana, tentu kekuatan 4 Skuadron Sukhoi tentu akan memberikan Indonesia kekuatan Udara yang sangat besar dan juga menjadi disegani lawan. Namun kembali ke focus bro Mudhi yang berbicara mengenai Efisiensi, apakah 64 Sukhoi lebih efisien menjaga Indonesia dibandingkan dengan kombinasi Heavy Fighter (Sukhoi) dan Medium Fighter (F-16) seperti yang selama ini di jalankan TNI AU? Memang selama ini jumlah Sukhoi dan F-16 belum memadai, tetapi itu sedang di tingkatkan oleh TNI AU.


Nah mari kita lihat di tahun 2014, kemungkinan besar Indonesia sudah memiliki 34 F-16 dan 16 Sukhoi. Nah untuk membandingkan efektifitasnya, kita misalkan saja jumlahnya adalah dua kali dari keadaan itu untuk mendekati impian bro mudhi Indonesia menggunakan minimal 64 Sukhoi (4 Skuadron) tanpa F-16. Dalam perandainayan saya sebagai admin AnalisisMiliter.com, jumlah F-16 adalah 48 pesawat (3 Skuadron) dan 32 Sukhoi (2 Skuadron). Mana lebih efisien dari keduanya? Dari segi biaya maintenance dan operasional pesawat Sukhoi jauh lebih besar dibandingkan dengan F-16. Hal ini dikarenakan Sukhoi menggunakan 2 mesin sedangkan F-16 satu mesin, sehingga konsumsi bahan bakar Sukhoi pasti lebih besar dari F-16. Untuk biaya maintenance Sukhoi juga lebih besar dari F-16 (harga pastinya saya kurang tau, mungkin Bro StealtFlanker dari Kaskus bisa menjelaskannya). Dari beberapa artikel dan analisis yang say abaca dari beberapa tahun yang lalu sampai hari ini, saya mendapati sebuah hepotesa bahwa biaya operasional dan maintenance Sukhoi bisa sampai berlipat-lipat dibandingkan dengan F-16. Bahkan di beberapa artikel dan analisis yang saya baca disebutkan bahwa biaya operasional dan maintenance 1 pesawat Sukhoi bisa setara dengan oprasional dan maintenance beberapa F-16. 
Katakanlah Biaya maintenance dan operasional Sukhoi adalah 2 kali dari F-16, maka dari perhitungan kita tadi akan menjadi seperti di bawah ini :


Konsep Heavy Fighter Bro Mudhy


Perhitungan diatas adalah berdasarkan asumsi bahwa F-16 dan Sukhoi akan memiliki jam terbang yang sama. Namun dalam konsep Workhorse fighter, tentunya F-16 akan lebih sering digunakan dibandingkan dengan Sukhoi baik karena akan digunakan untuk patroli rutin. Sementara Sukhoi akan digunakan untuk misi khusus dan sebagai backup F-16 pada saat di butuhkan. Hal ini tentunya akan membuat biaya semakin hemat, karena factor F-16 lebih sering di gunakan. Dari perhitungan asumsi diatas dapat dilihat bahwa biaya operasional dan maintenance untuk kombinasi Heavy Fihgter dan Medium Fighter lebih memungkinkan lebih ekonomis di bandingkan dengan kalau hanya menggunakan Heavy Fighter saja.


Nah setelah melihat factor efisiensi dari segi biaya opersional dan maintenance, maka kita lihat factor efisiensi lainnya. Faktor efisiensi yang admin AnalisisMiliter.com maksud adalah apakah 4 Skuadron Sukhoi akan lebih bisa menjaga seluruh wilayah kedaulatan Indonesia? 4 Skuadron, berarti akan ada 4 pangkalan utama Sukhoi ini. Sedangkan kombinasi 2 skuadron Sukhoi dengan 3 skuadron F-16 akan memiliki pangkalan. Ini berarti bahwa titik kekuatan udara Indonesia dengan 4 skuadron Sukhoi akan lebih sedikit di bandingkan dengan 5 skuadron kombinasi F-16 dan Sukhoi. Ini berarti juga luas wilayah yang harus di jaga oleh 4 Skuadron lebih luas di bandingkan dengan 5 Skuadron. Memang benar bahwa combat radius Sukhoi lebih besar dari F-16. Sehingga secara factor luas wilayah yang bisa di cover oleh 4 Skuadron Sukhoi dibandingkan 5 Skuadron kombinasi F-16 dan Sukhoi, bisa dikatakan adalah 11-12, alias tidak terlalu berbeda jauh.


Selain itu dari segi efek gentar terhadap kemungkinan ancaman dari luar seperti black flight, pelanggaran wilayah udara, menurut saya sebagai admin AnalisisMiliter.com sudah bisa di tangani oleh F-16. Namun jika musuh yang dihadapi mungkin cukup mengkhawatirkan, maka F-16 bisa di back up dengan Sukhoi. Katakanlah contoh kasus Force Down Pesawat Sipil milik yang mengangkut petinggi Papua New Gini dan kasus Force Down Pesawat sipil Pakistan yang melintas di Indonesia tidaklah harus di jalankan oleh Sukhoi. F-16 sudah lebih dari cukup untuk melakukannya. Hanya saja kala itu, keterbatasan jumlah F-16 Indonesia saat itu, dan jumlah skuadron F-16 dan Sukhoi yang hanya 2 skuadron, mengakibatkan konsep workhorse ini belum berjalan dengan baik. Pesawat Sukhoi akan lebih cocok untuk di turunkan untuk menghadapi kasus seperti peristiwa Bawean, dimana 5 F-18 US Navy yang melanggar kedaulatan Indonesia yang hanya di hadapi 2 F-16 B TNI AU atau kasus Kasus penghadangan beberapa F-18 Australia oleh Hwak-209 di sekitar Nusa Tenggara Timur ketika konflik Timor Timur memanas tahun 1999.


So, kembali kepertanyaan dan penyataan bro mudhi di awal, Indonesia Effisien dijaga Fighter besar, sehingga memerlukan Fighter besar, bukan kecil. Dari ketika factor efisiensi yang saya kemukakan diatas, yaitu efisiensi biaya, efisiensi dari segi wilayah yang di jaga, dan efisiensi dari segi efek gentar, saya melihat bahwa kombinasi Heavy Fighter dan Medium Fighter jauh lebih efisien dibandingkan hanya menggunakan Heavy Fighter. Selain itu, factor yang lebih menjadi pertimbangan pemerintah saat ini adalah efisiensi dari segi biaya, karena dana operasional untuk pertahanan tentu terbatas sehingga Kemenhan pasti sangat mempertimbangkan masalah efisiensi biaya operasional dan maintenance, namun tidak mengabaikan factor efek gentarnya.


Jadi pernyataan bro Mudhi yang mengatakan bahwa Indonesia lebih memerlukan Heavy Fighter, menurut saya tidaklah terlau tepat dan tidak terlalu beralasan.



KFX adalah Light Fighter (Fighter Kecil)?


Seperti yang sudah saya jelaskan di bagian awal pembagian dan klasifikasi Fighter, maka kita dapat melihat bahwa F-16 termasuk dalam kategori Medium Fighter. Nah, KFX yang di kembangkan ini diharapkan akan lebih baik dari F-16. Diharapkan KFX ini akan memiliki Combat Radius dan Maximum Payload yang lebih baik dari F-16. Untuk memiliki Combat Radius dan Maximum Payload yang lebih baik, maka KFX ini nantinya ‘harus’ memiliki dimensi fisik dan karakteristik yang lebih besar sedikit dari F-16. Nah, kalau F-16 saja sudah termasuk Medium Fighter, maka sudah dapat dipastikan bahwa KFX ini bukan masuk dalam kategori Light Fighter (Fighter Kecil, seperti yang di sebutkan Bro Mudhi), melainkan masuk dalam kategori medium Fighter.


Selain itu, seperti saya sebutkan sebelumnya bahwa sebelum mengembangkan KFX, Korea Selatan sudah berhasil mengembangkan F/A-50 yang merupakan Light Fighter. Nah kalau KFX adalah Light Fighter yang disebutkan bro Mudhi, tentu adalah hal yang kurang masuk akal kalau Korea Selatan membuat dua project untuk menghasilkan 2 pesawat dengan kelas yang sama. Yang sebenarnya terjadi adalah Korea Selatan berusaha untuk mandiri dengan membangun Light Fighter dan Medium Fighter sendiri. Program Light Fighter mereka menghasilkan F/A-50, sedangkan program medium fighter mereka, diharapkan akan menghasilkan KFX. Sedangkan untuk kategori Heavy Fighter, mereka masih melakukan import dari luar dengan kandidat adalah F-15 Silent Eagle, F-35 dan juga Thypoon. 


Jadi menurut saya, pernyataan bro mudhi bahwa KFX adalah Light Fighter (Fighter Kecil) adalah kurang tepat dan kurang memiliki dasar yang kuat.



Basic Stealth tidak bermakna bagi Indonesia?


Salah satu lagi pernyataan bro mudhi yang menurut saya termasuk dalam kategori “Hiperbola” adalah pernyataan bahwa teknologi Stealth sama sekali tidak beguna bagi Indonesia. Perhatikan bagian tulisan bro mudhi di bawah ini :


Stealth tidak berguna??


Menurut bro Mudhi pada tahun 2020, semua radar modern sudah memiliki kemampuan anti stealth sehingga dapat melihat dan menembak pesawat stealth. Memang benar bahwa KFX itu bukan “full stealth” namun “semi Stealth”. Pengertian stealth sendiri bukan berarti pesawat yang tidak bisa terlihat di radar. Pesawat Stealth akan memiliki RCS (Radar Cross Section) yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pesawat fighter yang tidak dilengkapi fitur Stealth. Analogi sederhananya, jika ada dua jet Fighter terbang berdampingan menuju satu daerah yang memiliki radar pengawas, dan kedua pesawat berada pada jarak yang realtif sama dari posisi radar pengawas. Satu pesawat adalah pesawat yang dilengkapi fitur stealth dan satu lagi tidak. Maka bisa dipastikan bahwa radar akan lebih mudah mengenali pesawat tanpa fitur stealth di bandingkan yang dilengkapi fitur Stealth. 


Nah dari analogi ini bisa disimpulkan bahwa yang berperan penting dalam peperangan udara adalah masalah RCS. Semakin rendah RCS suatu pesawat, maka pesawat tersebut semakin sulit di lacak oleh radar. Misalkan sebuah radar modern bisa mendeteksi pesawat yang memiliki RCS besardari jarak 100 KM, maka pada jarak yang sama, pesawat yang dilengkapi kemungkinan belum terdeteksi. Dalam konteks ini, fitur Stealth akan sangat berguna dalam peperangan modern di kemudian hari. 


Jadi menurut saya, pernyataan bro mudhi bahwa “Teknologi (Semi) Stealth dalam KFX adalah sama sekali tidak berguna dan tidak bermakna” adalah sebuah pernyataan yang tidak tepat dan tidak memiliki dasar yang kuat. Hal ini dikarenakan teknologi Stealth, baik full stealth maupun semi stealth akan berguna untuk menurunkan tingkat RCS sebuah pesawat, yang pada akhirnya akan menyulitkan radar lawan untuk mengenalinya.



KFX Rawan Ancaman Embargo?


Untuk yang satu ini saya cukup setuju dengan pendapat bro Mudhi. Namun ancaman embargo tentu bukan satu alasan yang tepat untuk memutuskan Indonesia mundur dari Proyek KFX ini. Berbicara embargo, ini merupakan satu hal yang sangat sensitive bagi Indonesia. Indonesia sudah mengalami beberapa kali embargo militer. Sebut saja Embargo dari Rusia pasca peristiwa GS 30 PKI, dimana kekuatan udara Indonesia kala itu yang ‘semuanya’ buatan Rusia akhirnya terpaksa di grounded karena suku cadangnya di embargo Rusia. Kekuatan udara Indonesia yang sebelumnya begitu perkasa menjadi lunglai karena embargo ini. Selanjutnya adalah Embargo militer dari Amerika dan Sekutunya pada tahun 1999-2005 yang menyebabkan kekuatan udara Indonesia menjadi tak berkutik. Kala itu sebagian besar kekuatan Udara Indonesia adalah buatan Amerika dan sekutunya. Jadi masalah embargo bukanlah hal baru, baik Rusia maupun Amerika dan sekutunya pernah melakukannya kepada Indonesia. Jadi intinya, selama Indonesia belum bisa memproduksi semua alutsista di Indonesia dan beserta dengan semua komponennya di Indonesia, maka tidak ada jaminan Indonesia akan bebas dari Embargo. 


Nah untuk membuat Indonesia bisa memproduksi semua alutsista beserta semua komponennya di Indonesia tentu bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan kemauan keras untuk mandiri dan dukungan dari pemerintah. Selain itu, saat ini untuk memproduksi jet Fighter, Indonesia sama sekali belum memiliki pengalaman. Untuk itu Indonesia perlu lahan belajar agar Indonesia memiliki dasar yang kuat dalam bidang pengembangan Jet Fighter, sehingga suatu saat nanti Indonesia bisa mengembangkan Jet Fighter sendiri. Salah satu cara belajar yang praktis dan ‘cukup murah’ adalah dengan bergabung dalam program Joint Development dengan negara lain yang juga ingin mengembangkan jet fighter sendiri. Nah, KFX adalah satu pilihan yang baik bahkan adalah satu-satunya pilihan paling realistis untuk di ikuti Indonesia dalam konteks Join Development Jet Fighter saat ini.


Memang KFX rentan embargo, karena kebanyakan teknologi dan komponennya adalah produk barat (AS dan Sekutunya). Kita misalkanlah bahwa teknologi dan komponen dalam KFX ini adalah 70% buatan dan produk negara barat yang rentan embargo. Sementara 30% sisanya adalah hasil pengembangan Korea Selatan dan Indonesia. Maka 70% bagian dari KFX itu akan sangat rentan untuk di embargo. Namun, manakan yang lebih menakutkan embargo 70% KFX atau embargo 100% Sukhoi? Atau embargo 70% KFX dibandingkan embargo 100% F-16? Atau manakah yang lebih sakit embargo 70% KFX dengan embargo 100% pesawat lain yang saat ini hanya kita bisa beli???


Jadi kalau alasan embargo menjadi alasan Indonesia untuk mundur, tentu Indonesia pasti lebih dulu mundur membeli F-16 dan Sukhoi sebelum mundur dari KFX.



KFX : Resiko Besar, Hasil tidak memadai??


Salah satu lagi pernyataan dari Bro mudhi adalah bahwa Join Development KFX antara Korea Selatan dan Indonesia adalah project yang beresiko besar dan hasilnya tidak memadai. Kalau masalah beresiko besar, saya setuju. KFX ini dirancang untuk memenuhi kualifikasi tertentu, bisa saja gagal sehingga hasilnya tidak sesuai harapan. Kemungkinan gagal itu pasti ada. Namun dibaliknya tidak adakah kemungkinan berhasil?? Saya rasa kemungkinan berhasil juga ada. Saya rasa peluang gagal dan berhasil tetap ada. Kalau saya sendiri cukup optimis ini akan berhasil. Kalau kita membandingkan Join Development KFX dengan Joint Development F-35 antara AS dan sekutunya, tentu kita bisa ragu. F-35 yang di kerjakan bersama-sama antara Amerika dan sekutunya yang notabene adalah negara dengan Industri Jet Tempur yang sudah besar dan maju, tetap saja mengalami banyak masalah dan kemunduran jadwal produksi massal. Kalau Amerika saja bisa ‘gagal’, masakan Indonesia dan Korea Selatan yang belum terlalu mau Industri Fighternya bisa berhasil??


Itulah letak perbedaan project Joint Development KFX dan F-35. Pada Project F-35, Amerika dan sekutunya membangun semua teknologinya dari awal. Bahkan semua komponennya mereka kerjakan dari awal semuanya, bukan menggunakan teknologi yang sudah ada sebelumnya. Misalkan mesin F-35 adalah jenis mesin baru yang belum pernah ada dan belum pernah digunakan sebelumnya. Tentunya mesin ini memerlukan uji coba dan riset yang jauh lebih rumit dan lama di bandingkan dengan menggunakan jenis mesin pesawat yang sudah ada dan sudah pernah di gunakan pada pesawat lain sebelumnya. Masalah Radar juga demikian, F-35 juga akan menggunakan radar yang baru dan kemungkinan juga belum pernah di gunakan sebelumnya di pesawat lain. Hal ini tentunya akan membuat riset dan uji cobanya memerlukan dana, waktu dan tenaga yang banyak. Dan masih banyak lagi bagian dan komponen F-35 lainnya yang semuanya merupakan ‘sesuatu’ yang baru, sehingga memerlukan waktu pengembangan yang banyak. Keterlambatan dalam menghasilkan satu komponen atau bagian F-35 akan menghambat poject F-35 secara keseluruhan.


Berbeda dengan F-35, KFX adalah project dengan menggunakan teknologi “On The Self” yang artinya menggunakan teknologi yang sudah pernah ada sebelumnya. Hal ini karena kebanyakan teknologinya memang direncanakan menggunakan teknologi yang sudah pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh, mesin pesawat kemungkinan akan menggunakan mesin EJ200 dari Milik Thypoon atau F414 dari milik F-18 atau malah mesin milik Jet Rafale dari Prancis. Masalah Radar juga akan melibatkan teknologi radar yang sudah ada sebelumnya, namun belum dipastikan radar jenis apa yang akan di gunakan. Namun yang pasti reqieremntnya adalah radar AESA (Active Electronically Scanned Array). Artinya radarnya akan mengikuti teknologi radar yang sudah ada sebelumnya, namun mungkin yang terpilih adalah radar AESA yang terbaik yang ada saat ini. Banyak teknologi lainnya dalam KFX ini akan menggunakan teknologi canggih yang sudah ada saat ini, sehingga project KFX ini saya rasa project yang cukup realistis untuk tercapai dan menghasilkan hasil yang baik.


So, KFX bisa gagal? Saya rasa bisa, namun saya juga memiliki pandangan bahwa selain resiko gagal, KFX juga menanggung ‘resiko’ berhasil. Berhasil atau tidaknya, saat ini satu orangpun tidak ada yang bisa memastikannya. Pernyataan bro Mudhi bahwa KFX akan tidak berhasil dan hasilnya tidak memadai adalah sebuah pernyataan yang terlalu dini dan terlalu pesimis. Namun sebagai sebuah langkah awal menuju kemandirian, bergabungnya Indonesia dalam project KFX adalah sebuah langkah yang cukup tepat 9walaupun tidak 100% tepat). Dengan bergabung dalam KFX, Indonesia berkesampatan belajar membangun jet Fighter dari mulai tahapan design awal, sampai pada produksinya. Hal ini akan sangat berguna dimasa yang akan datang, karena pengalaman di KFX bisa digunakan untuk modal Indonesia membangun Jet Fighter sendiri di masa yang akan datang.


Menurut saya, KFX adalah satu langkah awal menuju kemandirian alutsista. Satu langkah kedepan, yang memang belum menghantar Indonesia kepada kemandirian alutsista, namun satu langkah kedepan ini merupakan sebuah tahapan menujut kesana. KFX bukan hasil akhir yang di tuju Indonesia, tetapi KFX adalah sebuah batu loncatan menujut target yang lebih besar.



Kesimpulan : Apakah KFX adalah sebuah Kesalahan??


Inti dari tulisan dari Bro Mudhi di Kompasiana adalah bahwa KFX adalah sebuah langkah yang salah yang di tempuh Indonesia dalam menuju kemandirian alutsista. Namun dari penjelasan saya diatas semuanya, saya berpendapat bahwa pernyataan KFX adalah sebuah kesalahan, adalah sebuah pernyataan yang sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat dan sebuah pernyataan yang terburu-buru.


Saya berpendapat bahwa KFX adalah langkah paling realistis yang mampu di jalani oleh Indonesia menuju kemandirian alutsista. KFX bukanlah hasil akhir, namun KFX adalah sebuah batu loncatan untuk mencapai hasil yang jauh lebih baik.


Sekian dulu tulisan dari saya selaku admin AnalisisMiliter.com. saya berharap Bro Mudhi membaca tulisan saya ini sebagai koreksi bagi tulisan beliau. Saya sama sekali tidak bermasud menggurui beliau, karena saya belum pantas menjadi guru. Saya hanyalah seorang mahasiswa yang belu tamat-tamat sampai saat ini. Tulisan saya ini juga mungkin banyak memiliki kekurangan, maka dari itu saya tidak berani memberikan pernyataan “Orang lain lebih sering salah dari pada saya”, karena saya sering sekali salah dalam menulis. Mudah-mudahan apa yang saya tuliskan ini bermanfaat bagi kita semua. Salam damai, admin




AnalisisMiliter.com
 

Cerita Hidup Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger