Perlu waktu empat tahun untuk meyakinkan China agar mau berbagi ilmu sembari mengulang-ulang membaca sebuah Hadits Nabi: Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Akhirnya terbuka sudah pintu perguruan Shaolin itu. Dan ini juga yang menjadi titik asa paling gempita sejak DCA diproklamirkan karena ini tujuan utama dari wujud kerjasama yang nyata itu.
Kerjasama pertahanan dan industri pertahanan bersama China memberikan dua nilai yang sama-sama bernilai penting. Yang satu adalah soal berguru tadi, menjadi murid sekolah transfer teknologi, yang lainnya adalah mempermudah saling pengertian dalam bidang hankam. China saat ini sedang membangun kekuatan militernya seirama dengan pertumbuhan ekonominya yang tertinggi di dunia. Pada saat yang sama negeri tirai bambu ini mempunyai klaim tumpang tindih dengan beberapa negara ASEAN. Indonesia berada dalam posisi tidak bersengketa dengan negeri naga itu sehingga posisi ini setidaknya dapat menjadi pencair ketegangan.
Rudal C-705 pintu gerbang penguasaan teknologi rudal RI |
Indonesia perlu rudal, jelas dong. Jauh-jauh hari Presiden SBY sudah memberikan ruang dan waktu bahwa di masa pemerintahannya harus tercipta rudal made in dewe yang menjadi pagar pengaman teritori. Saat ini kita tahu persiapan kearah terciptanya rudal produksi dalam negeri sudah dalam stadium “ngebet banget”. Berbagai uji coba roket sudah dilakukan termasuk membangun fasilitas luncur di Bengkulu dan membangun pabrik bahan peledak. Nah kerjasama produksi rudal China – RI ini adalah pintu gerbang yang sudah dinantikan, pucuk dicinta ulam tiba. Dengan program kerjasama ini diharapkan Indonesia mampu mengembangkan berbagai jenis rudal sebagai salah satu alutsista strategis.
Setelah bergandeng tangan bersama guru taekwondo Korea Selatan untuk menimba ilmu melalui sekolah proyek pengembangan jet tempur IFX dan sekolah pembuatan kapal selam, maka dengan China dibuka lagi sekolah teknologi rudal untuk kemudian bisa di kembangkan sendiri sesuai jenisnya misal rudal darat ke darat, rudal darat ke udara dan rudal udara ke darat, termasuk penambahan jarak tembak dan hulu ledaknya. Jika semua berjalan mulus diharapkan tahun 2014 peluru kendali buatan dalam negeri sudah mulai digelar di sejumlah kapal cepat rudal sebagai rudal anti kapal dan di sejumlah tempat di perbatasan sebagai rudal darat ke darat dan rudal darat ke udara.
Ada yang menarik dari dua bangsa ras kuning ini, setidaknya dalam konteks kerjasama militer, bahwa kedua bangsa Asia ini China dan Korea tidak pelit ilmu, tidak bertele-tele dalam program pengadaan alutsista dengan model ToT, tidak terlalu banyak mempersyaratkan tetek bengek. Bandingkan dengan program kerjasama pembuatan PKR Light Fregat dengan Belanda yang jalannya melambai. Negara-negara barat memang cenderung protektif dan jual mahal untuk memberikan ilmu teknologi persenjataan kepada negara lain.
RI membangun kerjasama pengadaan alutsista berdasarkan prinsip kesetaraan an saling menguntungkan. Bangsa-bangsa Asia umumnya berada dalam koridor kesamaan ini. Jepang, walaupun sudah sangat maju dalam setiap segi kehidupannya tetap saja kulturnya selalu menghormati dan menyetarakan diri dengan sesama bangsa lain, utamanya bangsa Asia. Coba saja kita bertemu dengan orang Jepang yang kita kenal pasti mereka lebih dulu yang membungkukkan badan sembari memberi salam.
Berguru ke negeri China untuk mendapatkan ilmu teknologi rudal merupakan langkah strategis Kementerian Pertahanan untuk memastikan ketersediaan teknologi rudal. Sebab kalau ini sudah dikuasai maka lengkaplah penguasaan teknologi alutsista di Indonesia. Artinya kita sudah mampu menguasai teknologi persenjataan mulai dari produksi amunisi, panser, roket, tank ringan, torpedo, KCR, kapal selam, PKR, pesawat angkut, jet tempur dan peluru kendali. Inilah sebuah kebanggaan yang patut disyukuri, melihat postur TNI yang gahar, profesional dengan alutsista modern dan sebagian besar adalah produksi dalam negeri.
0 komentar:
Posting Komentar