Kamis, 26 Juli 2012

K-FX/I-FX : Sebuah Langkah Awal Menuju Kemandirian Alutsista

Semangat pagiiiiiii… Semangat pagi semuanya…. Seperti penyiar Radio Prambors FM yang selalu menyapa saya di setiap paginya.. Indra Bekti dan Gina benar-benar mencerahkan hari-hari saya. Lagu-lagu mereka yang mereka putar dan komentar-komentar ngeyel mereka benar-benar menyegarkan hari-hari saya. Hal ini membangkitkan kembali semangat saya untuk menulis artikel kembali. Mudah-mudahan semangat pagi ini membuat tulisan ini juga di inspirasi oleh semangat yang menyala-nyala.


Okay, kali ini saya akan mengangkat tulisan dengan tema seputar Joint development KFX antara Korea selatan dan Indonesia. Sebenarnya saya sudah pernah mengangkat tulisan dengan topic yang sama persis beberapa bulan yang lalu. Namun kali ini pun saya akan mengangkat tema yang sama. Kenapa saya mengangkat topic yang sama sih??? Mungkin anda bertanya-tanya seperti itu. Nah tulisan ini saya tuliskan kali ini adalah sebuah perspektif baru dan saya sengaja tuliskan sebagai Counter Back atas tulisan Bro Mudhy di Kompasiana yang berjudul Kesalahan Akuisisi Alutsista: KF-X, Elang Salah Asuhan.



Tulisan bro Mudhy ini mengenai KFX ini adalah tulisan yang cukup memberikan kontroversi di Kompasiana dan juga di Kaskus Militer. Kontroversi ini muncul karena banyak bagian dari tulisan bro Mudhy yang ‘bertentangan’ dengan logika umum yang selama ini sudah di terima secara umum oleh komunitas pecinta dunia militer. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan bro Mudhy yang sedikit hiperbola, dan dari gaya bahasanya juga sepertinya memandang semua hal dijalankan oleh Pihak Pemerintah memalui Kemenhan dan TNI AU sudah berjalan pada jalur yang salah. Hal ini lah yang memancing kontroversi kecil di Kompasiana dan juga Kaskus Militer.


Tulisan bro Mudhy di Kompasiana yang awalnya tidak mendapat banyak perhatian pengunjung Kompasiana akhirnya menjadi panas, setelah tulisan tersebut di posting di Forum Kaskus Militer oleh salah satu anggotanya. Sontak tulisan yang memiliki judul sangat provokatif tersebut langsung mendapatkan tentangan dari para anggota Forum Kaskus Militer. Tidak hanya di kaskus, di Kompasiana pun, banyak pengunjung Forum Kaskus Militer juga berlomba-lomba memberikan komentar kontra terhadap tulisan Bro Mudhi di Kompasiana.


Sebenarnya dari segi kontroversi tulisan itu adalah hal yang biasa. Masalah pro dan Kontra terhadap sebuah tulisan adalah sebuah hal yang wajar, demikian halnya dengan perdebatan pro dan kontra juga tidak akan menjadi masalah, jikalau setiap komentar di berikan argumentasi yang masuk akal dan didasari oleh fakta yang bisa dipertanggung jawabkan. Namun gaya bahasa bro Mudhy yang sepertinya sedikit ‘susah menerima pendapat’ orang lain dan cenderung ‘menganggap pendapatnya adalah yang paling benar’, membuat diskusi di Kaskus dan Kompasiana menjadi semakin mirip seperti Monolog karena Bro Mudhy selalu memberikan komentar yang susah diterima dengan ‘akal sehat’ para pecinta dunia militer.


Tulisan ini pun saya tujukan sebagai sebuah masukan bagi Bro Mudhy dari apa yang saya pahami dan saya ketahui selama ini. Hal ini menurut saya penting saya berikan karena tulisan bro Mudhy yang ‘susah diterima akal sehat’ jika tidak di counter back tentu akan memberikan pemahaman yang salah bagi orang awam yang membaca artikel beliau. Meluruskan hal yang menurut saya tidak tepat pada tulisan beliau, agar pembaca awam tidak tersesatkan adalah misi yang saya emban dalam menulis artikel kali ini.



Perbedaan Akuisisi dan Joint Development. 


Judul dari tulisan bro Mudhy mengandung kata-kata ‘Akuisisi’ yang berbeda dengan tulisan saya sebelumnya yang saya tuliskan dengan Join Development. Tidak dijelaskan dengan jelas dalam tulisan beliau, apa makna pengertian ‘Akuisisi’ dalam konteks tulisan beliau. Namun pada bagian awal tulisan tersebut kita akan menemukan kata-kata berikut “ Pilihan Indonesia bergabung dengan pembangunan KF-X adalah pilihan yang salah dan diambil tanpa pertimbangan matang.” Dalam tulisan selanjutnya juga kita menemukan kata-kata pengembangan seperti perbedaan focus pengembangan Indonesia dan Korea Selatan dalam KFX ini, maka dapat kita pahami bahwa pengertian beliau dan saya tidak jauh berbeda. Yaitu bahwa Indonesia bergabung dengan Korea Selatan dalam membangun dan mengembangkan pesawat baru yang diberi nama project KFX/IFX. Ini juga berarti bahwa Indonesia tidak sekedar membeli KFX, tetapi ikut terlibat aktif dalam pengembangan KFX, mulai dari desian awal, pembuatan prototype, mass production sampai pada KFX/IFX memasuki inventori TNI AU.


So, karena adanya ‘persepsi’ dalam hal ini, maka dapat saya simpulkan bahwa Akuisisi yang bro Mudhi maksud adalah bergabungnya Indonesia dalam Project pengembangan KFX/IFX bersama Korea Selatan. Pendapat saya ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Indonesia dan Korea selatan memang bergabung dalam project pengembangan KFX/IFX ini, yang tepatnya saya sebut Joint Development (Pengembangan Bersama). Perhatikan foto di bawah ini :


Penandatangan Join Development KFX


Gambar diatas adalah gambar penandatanganan kontrak antara Indonesia dan Korea Selatan dalam Joint Development KFX/IFX beberapa waktu yang lalu. Pada gambar diatas akan kita lihat dengan jelas bahwa kontrak yang di tandatangani adalah Joint Development, bukan ‘Akuisisi’ atau pembelian atau sejenisnya. Jadi sekali bahwa istilah yang saya gunakan yaitu Joint Development KFX/IFX bukanlah tanpa didasari fakta, sehingga kebenaran istilah ini bisa dipertanggung jawabkan. 


Kalau maksud bro Mudhi dalam kata-kata “akuisisi” yang digunakan dalam judulnya bukan menggambarkan bahwa Joint Development antara Indonesia dan Korea Selatan, maka mungkin menjadi pertanyaan besar apa yang dimaksud dengan “akuisisi” versi bro Mudhi ini. Tapi dari perjelasan beliau dalam tulisannya, sepertinya tidak ada yang bisa memberikan gambaran jelas mengenai apa akuisisi yang bro mudhi maksudkan.



Konsep Workhorse secara umum


Selain itu, ada beberapa hal yang perlu di luruskan terlebih dahulu sebelum saya jauh mengomentari tulisan bro Mudhy. Hal ini sangat penting, karena dalam tulisan bro mudhi sepertinya istilah ini sama sekali tidak dipertimbangkan. Istilah yang saya maksud adalah istilah Workhorse. Hal ini juga sudah saya tanyakan di Forum Militer kaskus, apakah Bro Mudhi mengerti dengan konsep workhorse dalam pertahanan udara? Namun bro mudhi sama sekali tidak ada memberikan jawaban mengenai pertanyaan ini. Beberapa anggota formil kaskus lainnya juga menanyakan hal yang sama, namun lagi-lagi tidak dijawab. Dan didalam tulisan beliau, konsep workhorse ini sama sekali tidak di singgung, sehingga saya menarik ‘hipotesa’ bahwa Bro Mudhi memang belum mengerti konsep workhorse dalam pertahanan udara.


Untuk itu saya kira saya perlu menjabarkan konsep workhorse yang umum digunakan dalam angkatan udara setiap negara. Penjabaran akan konsep ini akan menolong kita untuk memahami letak kesalahan dari tulisan bro mudhi. Penjabaran ini saya buat dalam bentuk analogi sederhana untuk menolong kita memahami konsep workhorse ini. WorkHorse secara kasarnya dapat kita artikan sebagai ‘kuda pekerja’ (tentu istilah ini tidak tepat, namun saya kira cocok sebagai gambaran) dalam pertahanan udara suatu negara. Seperti namanya, ‘Kuda Pekerja’ adalah ‘Kuda’ yang akan digunakan dalam menjalankan tugas-tugas penjaga kedaulatan udara setiap harinya.


Nah dalam konsep workhorse ini, maka kekuatan udara suatu negara akan di bagi dalam beberapa kelompok Jet Fighter. Biasanya minimal 2 jenis Fighter, namun ada juga yang 3 jenis fighter. Sebagai contoh Indonesia saat ini memiliki 3 jenis Fighter, yaitu :

1. Sukhoi 27/30 sebagai Main Fighter (ini istilah saya) =>Heavy Fighter
2. F-16 Block 15 OCU sebagai Workhorse
3. F-5 E/F sebagai Light Fighter


Jadi saat ini kekuatan utama dari TNI AU terletak kepada 10 pesawat Sukhoi 27/30 yang bermarkas di Makassar. Pesawat ini akan menjadi kekuatan pemukul untuk menghancurkan kekuatan musuh yang mencoba mengganggu kedaulatan Udara Indonesia. Namun pesawat ini tidak akan digunakan sebagai pesawat ‘Peronda’ yaitu pesawat yang melakukan patrol rutin di wilayah udara Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak factor diantaranya biaya operasional pesawat yang jauh lebih besar di bandingkan dengan F-16, besarnya biaya maintenance, penghematan usia airframe pesawat, factor efisiensi, dan lainnya. Faktor Efisiensi maksudnya adalah kalau hanya untuk melakukan patrol rutin yang sudah bisa dilakukan dengan pesawat F-16 yang memiliki biaya operasional lebih rendah, tentu penggunaan Sukhoi sebagai pesawat patrol tentu akan ‘mubazir’ dan kurang efisien. Pesawat Sukhoi ini hanya akan di keluarkan dalam menghadapi misi khusus serta dalam melakukan latihan rutin skuadron sukhoi ini.


Sedangkan pesawat F-16 yang memiliki biaya operasional dan maintenance yang lebih murah dibandingkan dengan Sukhoi, tentunya lebih cocok digunakan sebagai pesawat ‘peronda’ atau istilah kerennya sering di sebut sebagai pesawat ‘Workhorse’. Lagi pula secara spesifikasinya, pesawat F-16 ini sudah mencukupi untuk memenuhi criteria pesawat patrol rutin di TNI AU. Memang secara efek gentar, tentunya pesawat Sukhoi pasti lebih menggetarkan dibandingkan dengan F-16. Namun untuk sekedar patrol rutin, F-16 sudah mencukupi melakukannya. Lagi pula, jika di butuhkan Sukhoi dapat bergabung membantu F-16 untuk menghadapi musuh yang sudah di deteksi oleh pesawat F-16 yang berpatroli sebelumnya. Dengan kata lain, Sukhoi adalah back up dari F-16 dalam menjaga kedaulaan udara Indonesia. Dengan kata lain, bahwa F-16 ini akan lebih memiliki banyak peranan dalam berpatroli di udara Indonesia di bandingkan dengan Sukhoi.
Untuk F-5 E/F TNI AU saat ini secara teknologi sudah cukup tua dan secara biaya operasional juga sudah cukup mahal dikarenakan usia pesawat, sehingga tidak efisien di gunakan sebagai pesawat workhorse. Namun pesawat ini tetap bisa digunakan untuk misi khusus dan membantu peranan F-16 dan juga Sukhoi.


Hampir semua negara juga menerapkan pola yang sama, walaupun ada juga negara-negara yang tidak/belum menerapkan pola ini. Sebagai contoh, Korea Selatan yang memiliki Ratusan pesawat F-16 dan puluhan F-15. Pesawat F-16 digunakan oleh ROKAF sebagai workhorse, sedangkan F-15 sebagai main fighternya yang akan dikeluarkan dalam misi khusus. Bahkan negara sebesar Amerika juga menggunakan konsep yang sama, dimana tulang punggung kekuatan udaranya adalah F-16 yang digunakan sebagai workhorse, sedangkan F-15 sebagai main fihternya. Itulah sebabnya jumlah F-16 amerika tetap jauh lebih banyak di bandingkan dengan F-15 mereka. Kedepan pola ini juga tetap di pertahankan dimana F-16 sebagai workhorse akan digantikan peranannya oleh F-35, sedangkan F-15 sebagai main fighter akan digantikan peranannya oleh F-22. Rusia juga menggunakan konsep yang sama, dimana tulang punggung kekuatan udara mereka adalah pada Mig-29 sebagai workhorse angkatan udara mereka, sedangkan Sukhoi-27/30 sebagai kekuatan utama mereka.


Nah kira-kira seperti inilah konsep workhorse yang banyak diterapkan di negara-negara di dunia. Hal ini dilakukan untuk mencapai superioritas udara namun tetap juga memperhatikan factor efisiensi dan penghematan anggaran.



Klasifikasi Fighter secara umum


Salah satu poin yang perlu diluruskan dalam tulisan bro mudhi adalah klasifikasi fighter yang sedikit rancu sehingga menimbulkan salah persepsi bagi pembaca. Bro mudhi dalam tulisannya sering sekali menggunakan istilah fighter kecil dan fighter besar yang sedikit rancu. Nah dalam pengertian saya dari hasil diskusi dan menjadi silent reader di Kaskus, forum militer Pakistan, forum militer singapura, dan forum militer internasional lainnya, saya mendapatkan pengertian umum mengenai klasifikasi fighter ini. Klasifikasi fighter ini dapat saya jabarkan secara singkay sebagai berikut :

1. Heavy Fighter (Fighter Kelas Berat), contohnya : Sukhoi-27/30, F-15, F-22, Sukhoi FAKPA, dll
2. Medium Fighter, contohnya : F-16, F-18, Rafale, Thypoon, Griffin, Mig-29, dll
3. Light Fighter (Fighter Kelas ringan), contohnya : F-5, Mig-21, dll


Penentuan suatu jet fighter masuk dalam kategori yang mana adalah tergantung pada dimensi fisik pesawat, maximal payloadnya, combat radius, bobot pesawat dan lainnya. 


Nah selain Fighter, masih ada tipe pesawat tempur lainnya yang lebih cocok di sebut sebagai pesawat serang (Atacker), seperti Hwak-209/109, Mig-23, Super Tucano, A-50, dan sejenisnya. Pesawat-pesawat ini memang dirancang untuk serangan darat sehingga lebih cocok disebut pesawat serang. Memang pesawat ini juga memiliki kemampuan untuk bertarung di udara dengan pesawat lain, tetapi sangat terbatas dibandingkan dengan fighter murni seperti F-6, Sukhoi, dan lainnya.


Okay sampai disini sebagai penghantar awal, sekarang mari kita masuk kedalam koreksi tulisan bro mudhi versi saya (versi anak kuliahan ya). Tulisan yang ingin saya koreksi mencakup tulisan artikel secara keseluruhan dan komentar bro Mudhi dalam berdiskusi mengenai topic ini di Kaskus dan juga di Kompasiana.



Indonesia Memerlukan Fighter Besar, Korea Selatan Butuh Fighter Kecil? 


Dalam tulisan tersebut bro Modhi menyebutkan bahwa KFX tidak cocok untuk Indonesia karena merupakan Fighter kecil, yang lebih cocok di gunakan oleh Korea Selatan. Perhatikan petikan tulisan berikut :

 Dari sisi geografis, Korea Selatan berbentuk satu daratan yang efisien dijaga oleh fighter kecil dengan radius tempur 750km (asumsi peningkatan 50% dari radius tempur F-16). Pada geografis Korea Selatan, fighter tidak perlu membawa terlalu banyak senjata karena bisa kembali ke pangkalannya untuk dipersenjatai kembali.


Ditambah lagi dengan table yang menggambarkan perbedaan kebutuhan dan focus Korea Selatan dan Indonesia seperti table di bawah ini :


Komentar Mudhi


Nah dari tulisan dan table diatas serta beberapa komentar bro mudhi di Kompasiana dan Kaskus, saya mendapati sebuah kesimpulan bahwa menurut Bro Mudhi, Indonesia tidak cocok menggunakan fighter kecil dan lebih cocok menggunakan fighter besar. Sedangkan Korea sebaliknya. Selanjutnya KFX yang menurut beliau adalah Fighter kecil tentu tidak cocok dengan kebutuhan Indonesia. Korea kita tau sendiri menggunakan tiga type Fihgter, yaitu :


Jenis-jenis Fighter Korea


Memang secara luas wilayah, F-16 saja sudah cukup menjaga kedaulatan Korea selatan. Namun disini terlihat dengan jelas bahwa, factor yang menentukan Korea dalam memilih F-15 selain KF-16 sebagai fighter mereka tidak hanya dari segi wilayah. Tetapi juga mempertimbangkann factor geopolitik mereka, factor kekuatan fighter negara tetangga, factor efek gentar, dan lainnya. Sehingga untuk focus pengembangan Fighter Korea tentu bukan hanya untuk Light Fighter seperti yang di sebutkan bro Mudhi. Kita tau sendiri bahwa untuk Light fighter, Korea Selatan telah mengembangkan F/A-50 dan untuk Medium Fighter Korea selatan mengembangkan KFX bersama Indonesia.



Indonesia Memerlukan Fighter Besar, Bukan Fighter Kecil? 


Disini tulisan bro mudhi tersebut, kita menangkap ada dua point yang disampaikan bro mudhi, yaitu Indonesia tidak butuh Fighter Kecil, tapi butuh Fughter Besar dan KFX adalah Fighter Kecil (bukan fighter medium dan juga heavy fighter). Nah permasalahannya adalah apakah kedua statement bro Mudhi ini benar-benar tepat atau malah statement ini salah? Mari kita kaji satu persatu.


Indonesia Effisien dijaga Fighter besar, sehingga memerlukan Fighter besar, bukan kecil? Memang benar bahwa wilayah Indonesia jauh lebih luas dibanding dengan wilayah Korea Selatan. Kalau focus mempertimbangkan kebutuhan fighter hanyalah kondisi geografis itu tentu ada benarnya juga. Tetapi pertanyaannya, apakah pemilihan kebutuhan fighter hanya di pengaruhi oleh kondisi geografis? Menurut saya terlalu dangkal pemikiran yang mengatakan bahwa factor penentu pemilihan fighter hanyalah dari kondisi geografis. Masih banyak lagi factor lain yang berperan, diantaranya peta kekuatan fighter di negara tetangga, factor efisiensi biaya operasional dan maintenance, factor geopolitik dan factor lainnya.


Nah karena focus dari bro mudhi adalah Efisiensi penggunaan Fighter besar di Indonesia. Mari kita cerna apakah menggunakan fighter besar efisien di Indonesia? Contoh fighter besar yang pernah di kemukakan oleh bro mudhi di Kompasiana dan Kaskus adalah Sukhoi-27/30, F-15, Sukhoi PAKFA. Misalkan, kita mengikuti saran dari Bro Mudhi dimana Indonesia menggunakan Sukhoi sebagai fighter tunggal di Indonesia, tanpa F-16, F-5 dan lainnya. Katakanlah jumlahnya minimal 4 Skuadron (64 pesawat) seperti yang bro mudhi tuliskan di Kompasiana dan Kaskus. Memang secara logika sederhana, tentu kekuatan 4 Skuadron Sukhoi tentu akan memberikan Indonesia kekuatan Udara yang sangat besar dan juga menjadi disegani lawan. Namun kembali ke focus bro Mudhi yang berbicara mengenai Efisiensi, apakah 64 Sukhoi lebih efisien menjaga Indonesia dibandingkan dengan kombinasi Heavy Fighter (Sukhoi) dan Medium Fighter (F-16) seperti yang selama ini di jalankan TNI AU? Memang selama ini jumlah Sukhoi dan F-16 belum memadai, tetapi itu sedang di tingkatkan oleh TNI AU.


Nah mari kita lihat di tahun 2014, kemungkinan besar Indonesia sudah memiliki 34 F-16 dan 16 Sukhoi. Nah untuk membandingkan efektifitasnya, kita misalkan saja jumlahnya adalah dua kali dari keadaan itu untuk mendekati impian bro mudhi Indonesia menggunakan minimal 64 Sukhoi (4 Skuadron) tanpa F-16. Dalam perandainayan saya sebagai admin AnalisisMiliter.com, jumlah F-16 adalah 48 pesawat (3 Skuadron) dan 32 Sukhoi (2 Skuadron). Mana lebih efisien dari keduanya? Dari segi biaya maintenance dan operasional pesawat Sukhoi jauh lebih besar dibandingkan dengan F-16. Hal ini dikarenakan Sukhoi menggunakan 2 mesin sedangkan F-16 satu mesin, sehingga konsumsi bahan bakar Sukhoi pasti lebih besar dari F-16. Untuk biaya maintenance Sukhoi juga lebih besar dari F-16 (harga pastinya saya kurang tau, mungkin Bro StealtFlanker dari Kaskus bisa menjelaskannya). Dari beberapa artikel dan analisis yang say abaca dari beberapa tahun yang lalu sampai hari ini, saya mendapati sebuah hepotesa bahwa biaya operasional dan maintenance Sukhoi bisa sampai berlipat-lipat dibandingkan dengan F-16. Bahkan di beberapa artikel dan analisis yang saya baca disebutkan bahwa biaya operasional dan maintenance 1 pesawat Sukhoi bisa setara dengan oprasional dan maintenance beberapa F-16. 
Katakanlah Biaya maintenance dan operasional Sukhoi adalah 2 kali dari F-16, maka dari perhitungan kita tadi akan menjadi seperti di bawah ini :


Konsep Heavy Fighter Bro Mudhy


Perhitungan diatas adalah berdasarkan asumsi bahwa F-16 dan Sukhoi akan memiliki jam terbang yang sama. Namun dalam konsep Workhorse fighter, tentunya F-16 akan lebih sering digunakan dibandingkan dengan Sukhoi baik karena akan digunakan untuk patroli rutin. Sementara Sukhoi akan digunakan untuk misi khusus dan sebagai backup F-16 pada saat di butuhkan. Hal ini tentunya akan membuat biaya semakin hemat, karena factor F-16 lebih sering di gunakan. Dari perhitungan asumsi diatas dapat dilihat bahwa biaya operasional dan maintenance untuk kombinasi Heavy Fihgter dan Medium Fighter lebih memungkinkan lebih ekonomis di bandingkan dengan kalau hanya menggunakan Heavy Fighter saja.


Nah setelah melihat factor efisiensi dari segi biaya opersional dan maintenance, maka kita lihat factor efisiensi lainnya. Faktor efisiensi yang admin AnalisisMiliter.com maksud adalah apakah 4 Skuadron Sukhoi akan lebih bisa menjaga seluruh wilayah kedaulatan Indonesia? 4 Skuadron, berarti akan ada 4 pangkalan utama Sukhoi ini. Sedangkan kombinasi 2 skuadron Sukhoi dengan 3 skuadron F-16 akan memiliki pangkalan. Ini berarti bahwa titik kekuatan udara Indonesia dengan 4 skuadron Sukhoi akan lebih sedikit di bandingkan dengan 5 skuadron kombinasi F-16 dan Sukhoi. Ini berarti juga luas wilayah yang harus di jaga oleh 4 Skuadron lebih luas di bandingkan dengan 5 Skuadron. Memang benar bahwa combat radius Sukhoi lebih besar dari F-16. Sehingga secara factor luas wilayah yang bisa di cover oleh 4 Skuadron Sukhoi dibandingkan 5 Skuadron kombinasi F-16 dan Sukhoi, bisa dikatakan adalah 11-12, alias tidak terlalu berbeda jauh.


Selain itu dari segi efek gentar terhadap kemungkinan ancaman dari luar seperti black flight, pelanggaran wilayah udara, menurut saya sebagai admin AnalisisMiliter.com sudah bisa di tangani oleh F-16. Namun jika musuh yang dihadapi mungkin cukup mengkhawatirkan, maka F-16 bisa di back up dengan Sukhoi. Katakanlah contoh kasus Force Down Pesawat Sipil milik yang mengangkut petinggi Papua New Gini dan kasus Force Down Pesawat sipil Pakistan yang melintas di Indonesia tidaklah harus di jalankan oleh Sukhoi. F-16 sudah lebih dari cukup untuk melakukannya. Hanya saja kala itu, keterbatasan jumlah F-16 Indonesia saat itu, dan jumlah skuadron F-16 dan Sukhoi yang hanya 2 skuadron, mengakibatkan konsep workhorse ini belum berjalan dengan baik. Pesawat Sukhoi akan lebih cocok untuk di turunkan untuk menghadapi kasus seperti peristiwa Bawean, dimana 5 F-18 US Navy yang melanggar kedaulatan Indonesia yang hanya di hadapi 2 F-16 B TNI AU atau kasus Kasus penghadangan beberapa F-18 Australia oleh Hwak-209 di sekitar Nusa Tenggara Timur ketika konflik Timor Timur memanas tahun 1999.


So, kembali kepertanyaan dan penyataan bro mudhi di awal, Indonesia Effisien dijaga Fighter besar, sehingga memerlukan Fighter besar, bukan kecil. Dari ketika factor efisiensi yang saya kemukakan diatas, yaitu efisiensi biaya, efisiensi dari segi wilayah yang di jaga, dan efisiensi dari segi efek gentar, saya melihat bahwa kombinasi Heavy Fighter dan Medium Fighter jauh lebih efisien dibandingkan hanya menggunakan Heavy Fighter. Selain itu, factor yang lebih menjadi pertimbangan pemerintah saat ini adalah efisiensi dari segi biaya, karena dana operasional untuk pertahanan tentu terbatas sehingga Kemenhan pasti sangat mempertimbangkan masalah efisiensi biaya operasional dan maintenance, namun tidak mengabaikan factor efek gentarnya.


Jadi pernyataan bro Mudhi yang mengatakan bahwa Indonesia lebih memerlukan Heavy Fighter, menurut saya tidaklah terlau tepat dan tidak terlalu beralasan.



KFX adalah Light Fighter (Fighter Kecil)?


Seperti yang sudah saya jelaskan di bagian awal pembagian dan klasifikasi Fighter, maka kita dapat melihat bahwa F-16 termasuk dalam kategori Medium Fighter. Nah, KFX yang di kembangkan ini diharapkan akan lebih baik dari F-16. Diharapkan KFX ini akan memiliki Combat Radius dan Maximum Payload yang lebih baik dari F-16. Untuk memiliki Combat Radius dan Maximum Payload yang lebih baik, maka KFX ini nantinya ‘harus’ memiliki dimensi fisik dan karakteristik yang lebih besar sedikit dari F-16. Nah, kalau F-16 saja sudah termasuk Medium Fighter, maka sudah dapat dipastikan bahwa KFX ini bukan masuk dalam kategori Light Fighter (Fighter Kecil, seperti yang di sebutkan Bro Mudhi), melainkan masuk dalam kategori medium Fighter.


Selain itu, seperti saya sebutkan sebelumnya bahwa sebelum mengembangkan KFX, Korea Selatan sudah berhasil mengembangkan F/A-50 yang merupakan Light Fighter. Nah kalau KFX adalah Light Fighter yang disebutkan bro Mudhi, tentu adalah hal yang kurang masuk akal kalau Korea Selatan membuat dua project untuk menghasilkan 2 pesawat dengan kelas yang sama. Yang sebenarnya terjadi adalah Korea Selatan berusaha untuk mandiri dengan membangun Light Fighter dan Medium Fighter sendiri. Program Light Fighter mereka menghasilkan F/A-50, sedangkan program medium fighter mereka, diharapkan akan menghasilkan KFX. Sedangkan untuk kategori Heavy Fighter, mereka masih melakukan import dari luar dengan kandidat adalah F-15 Silent Eagle, F-35 dan juga Thypoon. 


Jadi menurut saya, pernyataan bro mudhi bahwa KFX adalah Light Fighter (Fighter Kecil) adalah kurang tepat dan kurang memiliki dasar yang kuat.



Basic Stealth tidak bermakna bagi Indonesia?


Salah satu lagi pernyataan bro mudhi yang menurut saya termasuk dalam kategori “Hiperbola” adalah pernyataan bahwa teknologi Stealth sama sekali tidak beguna bagi Indonesia. Perhatikan bagian tulisan bro mudhi di bawah ini :


Stealth tidak berguna??


Menurut bro Mudhi pada tahun 2020, semua radar modern sudah memiliki kemampuan anti stealth sehingga dapat melihat dan menembak pesawat stealth. Memang benar bahwa KFX itu bukan “full stealth” namun “semi Stealth”. Pengertian stealth sendiri bukan berarti pesawat yang tidak bisa terlihat di radar. Pesawat Stealth akan memiliki RCS (Radar Cross Section) yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pesawat fighter yang tidak dilengkapi fitur Stealth. Analogi sederhananya, jika ada dua jet Fighter terbang berdampingan menuju satu daerah yang memiliki radar pengawas, dan kedua pesawat berada pada jarak yang realtif sama dari posisi radar pengawas. Satu pesawat adalah pesawat yang dilengkapi fitur stealth dan satu lagi tidak. Maka bisa dipastikan bahwa radar akan lebih mudah mengenali pesawat tanpa fitur stealth di bandingkan yang dilengkapi fitur Stealth. 


Nah dari analogi ini bisa disimpulkan bahwa yang berperan penting dalam peperangan udara adalah masalah RCS. Semakin rendah RCS suatu pesawat, maka pesawat tersebut semakin sulit di lacak oleh radar. Misalkan sebuah radar modern bisa mendeteksi pesawat yang memiliki RCS besardari jarak 100 KM, maka pada jarak yang sama, pesawat yang dilengkapi kemungkinan belum terdeteksi. Dalam konteks ini, fitur Stealth akan sangat berguna dalam peperangan modern di kemudian hari. 


Jadi menurut saya, pernyataan bro mudhi bahwa “Teknologi (Semi) Stealth dalam KFX adalah sama sekali tidak berguna dan tidak bermakna” adalah sebuah pernyataan yang tidak tepat dan tidak memiliki dasar yang kuat. Hal ini dikarenakan teknologi Stealth, baik full stealth maupun semi stealth akan berguna untuk menurunkan tingkat RCS sebuah pesawat, yang pada akhirnya akan menyulitkan radar lawan untuk mengenalinya.



KFX Rawan Ancaman Embargo?


Untuk yang satu ini saya cukup setuju dengan pendapat bro Mudhi. Namun ancaman embargo tentu bukan satu alasan yang tepat untuk memutuskan Indonesia mundur dari Proyek KFX ini. Berbicara embargo, ini merupakan satu hal yang sangat sensitive bagi Indonesia. Indonesia sudah mengalami beberapa kali embargo militer. Sebut saja Embargo dari Rusia pasca peristiwa GS 30 PKI, dimana kekuatan udara Indonesia kala itu yang ‘semuanya’ buatan Rusia akhirnya terpaksa di grounded karena suku cadangnya di embargo Rusia. Kekuatan udara Indonesia yang sebelumnya begitu perkasa menjadi lunglai karena embargo ini. Selanjutnya adalah Embargo militer dari Amerika dan Sekutunya pada tahun 1999-2005 yang menyebabkan kekuatan udara Indonesia menjadi tak berkutik. Kala itu sebagian besar kekuatan Udara Indonesia adalah buatan Amerika dan sekutunya. Jadi masalah embargo bukanlah hal baru, baik Rusia maupun Amerika dan sekutunya pernah melakukannya kepada Indonesia. Jadi intinya, selama Indonesia belum bisa memproduksi semua alutsista di Indonesia dan beserta dengan semua komponennya di Indonesia, maka tidak ada jaminan Indonesia akan bebas dari Embargo. 


Nah untuk membuat Indonesia bisa memproduksi semua alutsista beserta semua komponennya di Indonesia tentu bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan kemauan keras untuk mandiri dan dukungan dari pemerintah. Selain itu, saat ini untuk memproduksi jet Fighter, Indonesia sama sekali belum memiliki pengalaman. Untuk itu Indonesia perlu lahan belajar agar Indonesia memiliki dasar yang kuat dalam bidang pengembangan Jet Fighter, sehingga suatu saat nanti Indonesia bisa mengembangkan Jet Fighter sendiri. Salah satu cara belajar yang praktis dan ‘cukup murah’ adalah dengan bergabung dalam program Joint Development dengan negara lain yang juga ingin mengembangkan jet fighter sendiri. Nah, KFX adalah satu pilihan yang baik bahkan adalah satu-satunya pilihan paling realistis untuk di ikuti Indonesia dalam konteks Join Development Jet Fighter saat ini.


Memang KFX rentan embargo, karena kebanyakan teknologi dan komponennya adalah produk barat (AS dan Sekutunya). Kita misalkanlah bahwa teknologi dan komponen dalam KFX ini adalah 70% buatan dan produk negara barat yang rentan embargo. Sementara 30% sisanya adalah hasil pengembangan Korea Selatan dan Indonesia. Maka 70% bagian dari KFX itu akan sangat rentan untuk di embargo. Namun, manakan yang lebih menakutkan embargo 70% KFX atau embargo 100% Sukhoi? Atau embargo 70% KFX dibandingkan embargo 100% F-16? Atau manakah yang lebih sakit embargo 70% KFX dengan embargo 100% pesawat lain yang saat ini hanya kita bisa beli???


Jadi kalau alasan embargo menjadi alasan Indonesia untuk mundur, tentu Indonesia pasti lebih dulu mundur membeli F-16 dan Sukhoi sebelum mundur dari KFX.



KFX : Resiko Besar, Hasil tidak memadai??


Salah satu lagi pernyataan dari Bro mudhi adalah bahwa Join Development KFX antara Korea Selatan dan Indonesia adalah project yang beresiko besar dan hasilnya tidak memadai. Kalau masalah beresiko besar, saya setuju. KFX ini dirancang untuk memenuhi kualifikasi tertentu, bisa saja gagal sehingga hasilnya tidak sesuai harapan. Kemungkinan gagal itu pasti ada. Namun dibaliknya tidak adakah kemungkinan berhasil?? Saya rasa kemungkinan berhasil juga ada. Saya rasa peluang gagal dan berhasil tetap ada. Kalau saya sendiri cukup optimis ini akan berhasil. Kalau kita membandingkan Join Development KFX dengan Joint Development F-35 antara AS dan sekutunya, tentu kita bisa ragu. F-35 yang di kerjakan bersama-sama antara Amerika dan sekutunya yang notabene adalah negara dengan Industri Jet Tempur yang sudah besar dan maju, tetap saja mengalami banyak masalah dan kemunduran jadwal produksi massal. Kalau Amerika saja bisa ‘gagal’, masakan Indonesia dan Korea Selatan yang belum terlalu mau Industri Fighternya bisa berhasil??


Itulah letak perbedaan project Joint Development KFX dan F-35. Pada Project F-35, Amerika dan sekutunya membangun semua teknologinya dari awal. Bahkan semua komponennya mereka kerjakan dari awal semuanya, bukan menggunakan teknologi yang sudah ada sebelumnya. Misalkan mesin F-35 adalah jenis mesin baru yang belum pernah ada dan belum pernah digunakan sebelumnya. Tentunya mesin ini memerlukan uji coba dan riset yang jauh lebih rumit dan lama di bandingkan dengan menggunakan jenis mesin pesawat yang sudah ada dan sudah pernah di gunakan pada pesawat lain sebelumnya. Masalah Radar juga demikian, F-35 juga akan menggunakan radar yang baru dan kemungkinan juga belum pernah di gunakan sebelumnya di pesawat lain. Hal ini tentunya akan membuat riset dan uji cobanya memerlukan dana, waktu dan tenaga yang banyak. Dan masih banyak lagi bagian dan komponen F-35 lainnya yang semuanya merupakan ‘sesuatu’ yang baru, sehingga memerlukan waktu pengembangan yang banyak. Keterlambatan dalam menghasilkan satu komponen atau bagian F-35 akan menghambat poject F-35 secara keseluruhan.


Berbeda dengan F-35, KFX adalah project dengan menggunakan teknologi “On The Self” yang artinya menggunakan teknologi yang sudah pernah ada sebelumnya. Hal ini karena kebanyakan teknologinya memang direncanakan menggunakan teknologi yang sudah pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh, mesin pesawat kemungkinan akan menggunakan mesin EJ200 dari Milik Thypoon atau F414 dari milik F-18 atau malah mesin milik Jet Rafale dari Prancis. Masalah Radar juga akan melibatkan teknologi radar yang sudah ada sebelumnya, namun belum dipastikan radar jenis apa yang akan di gunakan. Namun yang pasti reqieremntnya adalah radar AESA (Active Electronically Scanned Array). Artinya radarnya akan mengikuti teknologi radar yang sudah ada sebelumnya, namun mungkin yang terpilih adalah radar AESA yang terbaik yang ada saat ini. Banyak teknologi lainnya dalam KFX ini akan menggunakan teknologi canggih yang sudah ada saat ini, sehingga project KFX ini saya rasa project yang cukup realistis untuk tercapai dan menghasilkan hasil yang baik.


So, KFX bisa gagal? Saya rasa bisa, namun saya juga memiliki pandangan bahwa selain resiko gagal, KFX juga menanggung ‘resiko’ berhasil. Berhasil atau tidaknya, saat ini satu orangpun tidak ada yang bisa memastikannya. Pernyataan bro Mudhi bahwa KFX akan tidak berhasil dan hasilnya tidak memadai adalah sebuah pernyataan yang terlalu dini dan terlalu pesimis. Namun sebagai sebuah langkah awal menuju kemandirian, bergabungnya Indonesia dalam project KFX adalah sebuah langkah yang cukup tepat 9walaupun tidak 100% tepat). Dengan bergabung dalam KFX, Indonesia berkesampatan belajar membangun jet Fighter dari mulai tahapan design awal, sampai pada produksinya. Hal ini akan sangat berguna dimasa yang akan datang, karena pengalaman di KFX bisa digunakan untuk modal Indonesia membangun Jet Fighter sendiri di masa yang akan datang.


Menurut saya, KFX adalah satu langkah awal menuju kemandirian alutsista. Satu langkah kedepan, yang memang belum menghantar Indonesia kepada kemandirian alutsista, namun satu langkah kedepan ini merupakan sebuah tahapan menujut kesana. KFX bukan hasil akhir yang di tuju Indonesia, tetapi KFX adalah sebuah batu loncatan menujut target yang lebih besar.



Kesimpulan : Apakah KFX adalah sebuah Kesalahan??


Inti dari tulisan dari Bro Mudhi di Kompasiana adalah bahwa KFX adalah sebuah langkah yang salah yang di tempuh Indonesia dalam menuju kemandirian alutsista. Namun dari penjelasan saya diatas semuanya, saya berpendapat bahwa pernyataan KFX adalah sebuah kesalahan, adalah sebuah pernyataan yang sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat dan sebuah pernyataan yang terburu-buru.


Saya berpendapat bahwa KFX adalah langkah paling realistis yang mampu di jalani oleh Indonesia menuju kemandirian alutsista. KFX bukanlah hasil akhir, namun KFX adalah sebuah batu loncatan untuk mencapai hasil yang jauh lebih baik.


Sekian dulu tulisan dari saya selaku admin AnalisisMiliter.com. saya berharap Bro Mudhi membaca tulisan saya ini sebagai koreksi bagi tulisan beliau. Saya sama sekali tidak bermasud menggurui beliau, karena saya belum pantas menjadi guru. Saya hanyalah seorang mahasiswa yang belu tamat-tamat sampai saat ini. Tulisan saya ini juga mungkin banyak memiliki kekurangan, maka dari itu saya tidak berani memberikan pernyataan “Orang lain lebih sering salah dari pada saya”, karena saya sering sekali salah dalam menulis. Mudah-mudahan apa yang saya tuliskan ini bermanfaat bagi kita semua. Salam damai, admin




AnalisisMiliter.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Cerita Hidup Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger